Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #17

Bibit Perpecahan

Lembayung senja telah menjumpai batas eksistensinya. Sekarang tiba waktu dimana burung-burung diperintahkan untuk kembali ke sarang. Waktu ketika seorang ibu diminta untuk membawa masuk anak-anaknya ke dalam rumah. Sementara para suami bergegas menyambut seruan mu’adzin yang mengajak pada perjumpaan dengan Allah. Dan kami adalah yang termaksud di antara penyegera itu. Begitu membran microphone masjid—di tempat kami ISDAY  ini—mulai membentuk bebunyian; Kak Rumaisha lantas menjeda pembahasan soal perang shiffin. Dan kami pun segera bangkit untuk mengisi shaf-shaf utama dalam barisan sholat berjama’ah.

Sebelum sempat bubar barisan, sebuah rencana telah disepakati. Bahwa demi menyempurnakan materi ISDAY hari ini; kami akan pergi makan malam bersama. Rumah makan yang kami tuju adalah rumah makan lesehan di dekat kampus. Dan itu adalah salah satu rumah makan langganan kami selain pecel lele “Restu Ibu” yang terletak di depan hotel—samping kampus. Nanti, di sana kami akan makan malam sambil bersama-sama mendengar kelanjutan kisah tentang asal usul khawarij.

 

“Assalamu’alaikum...”

 

Suara Ikrima terdengar dari balik pintu shaf perempuan. Kak Laila merangkulnya dengan sapaan hangat. Begitu pun dengan Kak Muazah yang lama tidak berjumpa. “Udah wudhu dek?” tanya Kak Shafiyyah yang kemudian menyengaja bergeser untuk mengajaknya masuk ke dalam shaf. Dan sekarang aku duduk tepat di sebelahnya. Ikrima sempat tersenyum kepadaku sebelum akhirnya kembali memunggungiku. Setiap kali Ikrima datang, entah kenapa aku jadi merasa terpojok. Semua kakak terlihat renyah membangun dialog dengannya. Jujur saja, ini semua membuatku cemburu.

 

“tuk tuk tuk”

 

Aku menoleh ke arah sumber bunyi. Di sebelah kiri, ada Saiba dan Hafsah yang sedang duduk tertegun. Kami dipisahkan oleh jendela kaca yang menjulang. Rupanya sejak tadi mereka mengamati mimikku dari serambi masjid itu. Hafsah melebarkan senyumnya dengan ibu jari dan telunjuk yang merekah di antara dagu. Sementara Saiba menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri seraya menggelengkan kepala. Sepertinya mereka sedang mencoba memulihkan ingatanku tentang sebuah kesepakatan liqo yang pernah kita ikrarkan.

 

“Innalillahi wa innailaihi rojiun, apa benar mereka sudah sedekat itu dek? Sampai jemput-jemputan ke rumah? Kalau memang benar, berarti kita punya amanah baru yang harus diprioritaskan dek. Yaitu memberikan kenyamanan kepada Dek Ikrima. Karena biar bagaimana pun, kalau sampai Dek Ikrima lebih nyaman dan lebih terbuka dengan Dek Hamzah daripada dengan kita yang sesama perempuan; itu artinya masih ada yang salah dari cara kita memperlakukannya selama ini.”

 

Kurang lebih seperti itulah isi kesepakatan tak tertulis yang pernah terucap dalam pertemuan liqo kami beberapa waktu lalu. Dan itu semua di luar ekspektasiku. Kupikir Kak Laila yang selama ini terlihat begitu tegas—akan langsung menegur Ikrima dan Kak Hamzah. Tapi ternyata di balik ketegasan sikapnya; Kak Laila memiliki karakter dan pola pikir lain yang bagiku adalah teladan baru. Dengan sudut pandang psikologisnya, Kak Laila tidak serta-merta menyalahkan mereka. Beliau justru lebih dulu mengoreksi kami. Dan sebelum menghakimi mereka. Kak Laila justru lebih dulu memberi tugas kepada kami.

Katanya ‘amar ma’ruf nahi mungkar’ itu satu paket. Tidak bisa kita memaksa seseorang untuk berlepas diri dari kemungkaran—jika kita saja tidak kuasa memberinya solusi dari sebuah kebaikan. Dan begitulah kemudian kami harus lebih mengoreksi sifat dan sikap kami kepadanya. Karena mungkin saja, sebagai orang baru, selama ini Ikrima merasa kurang dirangkul oleh kami. Sehingga akhirnya dia terpaksa mencari kenyamanan itu lewat jalan lain yang belum halal untuknya. Dan itulah kenapa akhirnya setiap kali Ikrima datang; semua perhatian menjadi tercurah penuh untuk dia.

 

“Itu namanya bukan sandiwara dek, tapi lillah. Karena sandiwara itu identik dengan keterpaksaan yang kemudian mendatangkan keuntungan untuk diri sendiri, sedangkan lillah biasanya justru tidak memberikan keuntungan apapun untuk diri sendiri, tapi lumrahnya hati akan cenderung bahagia, meskipun tanpa menerima imbalan.”

 

Itulah sanggahan Kak Laila untukku—yang saat itu masih merasa ragu dengan nilai dari sebuah tindakan yang akan kami terapkan kepada Ikrima setelah ini. Tapi sekali lagi Kak Laila berhasil membulatkan tekadku yang sebelumnya menyempit oleh logika. Atau mungkin, menyempit karena rasa iri dengki yang tanpa sadar tumbuh sebagai satu jejak peninggalan Kak Hamzah di masa lampau.

Akhirnya, bersama sisa-sisa iman yang tidak lain hanya hendak mencari muka di hadapan-Nya, aku mulai menata kembali hatiku. Kuhamparkan sajadahku dengan vertikal sebagai bagian dari alas sujud Ikrima. Dia pun kembali menyempatkan diri untuk tersenyum—sesaat sebelum akhirnya imam melafazkan takbir—dan kami hanyut dalam penghambaan kepada Allah ta’ala.

***

“Okee, karena sekarang semua sudah pesan makanan, jadi sambil nunggu makanan datang kita mulai aja yaa?” Ujar Kak Shafiyyah menyegera hajat.

 

Sayangnya Kak Laila dan Kak Muazah harus kembali absen untuk forum malam ini. Kak Laila sempat menegur kami tentang agenda malam. Beliau bilang ada baiknya menunda majelis ilmu demi menghindari fitnah. Tapi rasanya anak muda terlalu keras kepala untuk dilarang. Apalagi jika dalilnya sudah ‘mencari ilmu’. Kalau ke negeri cina saja boleh ditempuh. Kenapa tidak dengan ke rumah makan.

Lagi pula materinya juga agak mendesak untuk dibahas—mengingat betapa bingungnya kami dengan ucapan Kak Hamzah—yang sepertinya memberi kesan bahwa pemateri Pernak-Pernik Ramadhan besok adalah seorang khawarij. Setidaknya kami harus benar-benar mengerti lebih dulu tentang apa itu khawarij, sebelum akhirnya mampu menarik benang merah dari ucapan Kak Hamzah.

 

“Yaudah, tapi disegerakan lho ya dek, jangan disambi dengan bercanda-bercanda yang gak perlu. Kalau sudah selesai materi ISDAY-nya nanti langsung pulang, ndak boleh menyengaja berleha-leha untuk memperlama forum.” Ucap Kak Laila terpaksa, begitu kami mendesaknya dengan sebuah argumen yang kekanak-kanakan.

 

Lihat selengkapnya