Mataku seperti panda. Ada lingkaran hitam yang mendominasi di setiap sudutnya. Ini pasti efek tidur larut malam. Tapi bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak, jika Kak Hamzah yang selama ini kukagumi mendadak berubah sedrastis itu?! Aku masih tidak habis pikir. Apa yang sebenarnya terjadi di antara Ikrima dan Kak Hamzah? Apa sih yang dibicarakan Ikrima dan Kak Hamzah di dalam masjid waktu itu? Apa juga yang membuat Kak Hamzah terkesan menyepelekan Kak Laila dengan ucapannya semalam? Memangnya ada apa dengan Tarbiyyah? Sungguh, semakin kurenungkan, semakin aku merasa lebih baik tidak membawa Ikrima ke dalam HIMA Islam sejak awal. Karena semenjak dia hadir, semua hal terasa berubah.
“Kak Lailaaaaaa” Syukurlah aku menemukan mata air itu.
“Assalamu’alaikum dek, gimana gimana? Aku buru-buru mau konsultasi skripsi e dek, nanti aja habis zuhur kita ketemu di masjid ya”
“.......” Aku memeluk Kak Laila dengan air mata yang mulai deras.
“Lho? he? he? dek? Astaghfirullah, kenapa to? Sini sini duduk sek sini”
“Kak Hamzah jahat kak” Dengan suara parau yang berjeda isak tangis, aku mulai mengadukan isi hatiku.
Kak Laila memang Kak Laila. Di balik sikapnya yang tegas dan blak-blakkan ketika sedang memberi nasihat, ada sisi keibuan yang selalu berhasil membuatku nyaman untuk tetap berbagi rasa, bahkan setelah sesering apapun dia pernah memarahiku. Dengan penuh perhatian, Kak Laila menyimak semua cerita yang kusampaikan. Walaupun sesekali kalimatku terjeda oleh isak tangis, Kak Laila tidak pernah menyelanya. Dia hanya sibuk mengusap-usap punggungku dengan tetap sabar menungguku mengatur napas.
Aku bahkan tidak menangkap raut kekesalan di wajahnya yang putih, tepat sesaat setelah aku menyampaikan ucapan Kak Hamzah perihal Tarbiyyah. Kak Laila masih terlihat tenang dengan kemuliaan akhlaknya. Dan begitu aku menyampaikan ajakan Ikrima tentang kajian Cak Zuhud nanti malam, Kak Laila justru tersenyum. Tapi bukan senyum intimidasi seperti yang semalam disodorkan Kak Hamzah kepada Kak Rumaisha. Kali ini bisa kurasakan bahwa senyum itu adalah simbol persetujuan.
“Subhanallah, Dek Hamzah beneran jadi gitu po dek?”
“Iya kak, semenjak ada Ikrima Kak Hamzah jadi berubah!”
“Hahaha Ya Allah, kamu ndak puberkan dek?”
“Ih kakaaaak! Jangan salah fokus dong” Air mataku perlahan mengering.
“Hahaha iya iya iya. Yowes no nanti malam datang aja ke kajian itu”
“Serius gak papa kak?”
“Sakjane aku gak mau kasih izin sih, soale malem e dek, perempuan itu sebaiknya sebelum maghrib sudah di rumah. Tapi daripada aku dikira memaksa kalian buat jadi kader Tarbiyyah, ya memang ada baiknya juga kalau kalian mengenal islam lewat ragam fiqihnya dek. Biar makin luas ilmunya. Tapi syaratku, jangan goncengan sama ikhwan. Jangan duduk dekat-dekat sama ikhwan. Jangan menyengaja lama-lama di sana kalau kajiannya sudah selesai. Dan aku sekalian titip Dek Ikrima sama kamu. Pastikan supaya dia ndak terlalu nempel sama Dek Hamzah. Tapi ini bukan karena aku lebih dukung Dek Hamzah sama kamu lho ya dek, itu cuma bagian dari perintah amar ma’ruf nahi munkar, jadi kamunya pun yo ndak boleh baper!”
Jujur, ada sedikit rasa kecut di hatiku saat mendengar bahwa Kak Laila tidak mendukungku dengan Kak Hamzah. Tapi perasaan kecut itu masih tetap tidak sebanding dengan rasa kecut ketika mendengar permintaannya untuk aku menjaga Ikrima. Kenapa ya hatiku bisa jadi sedemikian rumit dengan Ikrima? Padahal aku sudah sempat menyayanginya. Aku sempat mengkhawatirkannya. Aku bahkan pernah bertekad untuk menjadi Shirin bagi persoalan hidupnya. Tapi kenapa semua perasaan baik itu kian luntur?
“Jangan-jangan aku beneran cemburu ya?”
Noooo! Jika memikirkan Kak Hamzah dengan image yang menyebalkan seperti akhir-akhir ini, mana bisa aku jatuh cinta padanya?! Tapi memang aneh sih, karena setiap kali aku merasa sebal dengan sikap Kak Hamzah, aku justru menyalahkan Ikrima. Menuduhnya menjadi sebab di balik buruknya perubahan Kak Hamzah. Sungguh, sekarang aku justru merasa bahwa akulah yang jahat.
***
“Assalamu’alaikum naaaah, mashaallah makin sholehah aja”
“Wa’alaikumussalam, hahaha apaan sih id?!”
“Modus ceuna nah hehehe” Sahut Anas yang datang bersama Zaid dan Faris.
“Btw elu nanti malem ikut ke kajian gak nah?” Tanya Faris, menyinggung ajakan Ikrima semalam.
“Itu sih sebanarnya kajian NU ya, tapi gak papa juga kalau kita ikut, hitung-hitung musafir ilmu” Jawab Zaid.
“Emang elu NU id?”
“Hahaha aku Muhammadiyyah ris, kamu?”
“Gue apa yak? Wkwkwk Pokoknya kalau puasa ramadhan gue ikut yang mulainya belakangan, tapi lebarannya gue ikut yang duluan”
“Aihhh meuni ngaco pisan sia hahaha”
Bicara soal Tarbiyyah, NU, dan Muhammadiyyah; aku jadi teringat beberapa artikel online yang kubaca semalam. Secara spesifik pemahamanku memang belum cukup baik tentang organisasi-organisasi islam itu. Tapi mungkin bisa kusimpulkan secara sederhana, bahwasanya mereka semua adalah ibarat UKM dalam sebuah kampus. Dan sebagaimana tujuan dari UKM secara umum, seperti itu jugalah fungsi organisasi islam. Yaitu untuk memfasilitasi kegiatan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan passion masing-masing orang.
Bukankah kuliah juga seperti itu? Ada satu kurikulum utama yang wajib ditempuh oleh setiap mahasiswa, demi menyempurnakan wawasan dan skill-nya, agar dapat tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan sosial di masa depan. Kurasa islam pun seperti itu. Ada cabang ilmu fiqih, sirah, aqidah, dan lain-lain yang merupakan kurikulum utama seluruh umat muslim.
Sedangkan UKM, hanyalah opsional bagi para mahasiswa yang ingin lebih aktif di dalam bidang-bidang yang ditekuninya. Seperti Kak Hamzah yang sedang merintis UKM Koperasi sebagai salah satu bentuk praktiknya terhadap ilmu ekonomi. Atau seperti Kak Rumaisha yang tergabung dalam UKM Therapy and Counseling sebagai sarana memaksimalkan ilmu dan kebermanfaatannya.
“Tapi ya btw, kalau kita gak ikut organisasi itu gak papakan?” Aku mulai mengajukan pertanyaan.
“Iya ya, masa gue juga pernah ditanya; lu islam NU atau Muhammadiyyah? Lha gue bingung jadinya. Emang islam ada berapa sih?” Faris kembali mewakili keresahanku.
“Harusnya sih gak papa ya, karena NU sama Muhammadiyyah itukan cuma organisasi islam di Indonesia, bukan cabang ilmu syariat islam” Tiba-tiba Fatih bergabung di tengah-tengah diskusi kami.
“Hahaha setujuuuu, berarti kalau ditanya islamnya apa, aku teh kudu kumaha?”
“Ya bilang aja islam tok til gitu nas” Sahut Zaid dengan wajah konyol khasnya.
“Hahaha” Kami tertawa, disusul dengan kesepakatan untuk berangkat kajian nanti malam.
***
Sholat zuhur baru saja usai. Tapi aku masih menyengaja singgah di masjid. Melipat ulang susunan mukena peninggalan jamaah yang mungkin harus terburu-buru pergi—tanpa sempat merapihkannya. Aku suka sekali melakukan ini. Kak Laila pernah bilang, manusia itu harus banyak cari perhatian sama Allah. Agar jika hati kita sedang sempit oleh manusia, kesempitan itu akan perlahan melapang seiring dengan bergantinya fokus perhatian dan orientasi kita atas kehidupan ini. Naif sih, tapi aku suka. Lagipula aku memang masih harus menunggu seseorang di sini.
Bicara tentang ‘seseorang’, seharian ini rasanya aku belum melihat Kak Hamzah dan Ikrima. Saat sholat berjamaah tadi pun mereka tidak ada. Apa hari ini mereka sedang free class?
“Assalamu’alaikuuuuum!”