“Ilmu wudhu adalah ilmu rohaniah, ilmu mental, ilmu moral, bukan ilmu fisik, meskipun maintenancenya adalah fisik. Bahwa masio seng ngentut iku silitmu, tapi seng diwhudoni raimu, lak gitu?! Karena masalahnya bukan fisik, masalahnya adalah akhlak dan martabak. Sok nek kon ngentut, sing isin dudu silitmu, sing isin raimu. Gak ono wong ngentut sing terus nutupi silit, wong ngentut iku mesti nutupi rai. Mulane sak iki nek bikin KTP mesti seng difoto dudu silit, tapi rai. Moso ngene gak ngerti arek-arek i?! Karena wajah ini yang merupakan pusat wudhu, pusat pencerahan, pusat pembersihan, pusat pencahayaan, wajah itu adalah iconnya manusia, iconnya khalifah. Dia adalah performa main displaynya manusia. Di situlah letak dirimu. Maka Allah menyuruh kamu menaruh di tempat yang paling bawah ketika sujud. Bahkan lebih rendah daripada bokongmu. Lak dahsyat to islam i?”
Kami sudah berkumpul di sini. Hampir tiga puluh menit kulihat Zaid dan Fatih terbahak-bahak menertawai isi ceramah Cak Zuhud. Begitupun dengan Kak Shafiyyah dan Saiba. Hafsah absen karena dikejar deadline tugas. Kak Syifa mendadak drop sehingga tidak bisa ada di tengah-tengah kami. Sementara aku, Faris, dan Anas, kami hanya bisa saling bertukar pandang, setiap kali merasa gagal paham dengan ucapan Cak Zuhud yang mayoritas kalimatnya menggunakan bahasa jawa. Bahasa yang tentu saja masih terasa asing di telinga kami sebagai mahasiswa baru di kota pendidikan ini.
Aku sempat berbisik kepada Kak Rumaisha di sebelah kanan, memintanya untuk menjelaskan arti kalimat itu kepadaku. Tapi dia hanya tersenyum masam. Seperti malu untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Akhirnya yang keluar dari mulut wanita kalem itu hanya sepenggal kalimat pengalihan; “saru e dek”.
Jadi, kuputuskan untuk bertanya kepada Kak Shafiyyah yang sedaritadi terlihat bahagia mendengar kajian malam ini. Aku memang duduk di antara mereka berdua. Saiba ada di sebelah kiri Kak Shafiyyah. Sementara Ikrima mengambil posisi di sebelah kanan Kak Rumaisha. Tepat di belakang punggung Kak Hamzah, yang sejak awal tiba tidak melihat ke arahku sama sekali.
“Kak, terjemahin dong kak” Bisikku kepada Kak Shafiyyah.
“Sek dek, aku nyambi notulen, jadi harus fokus hehehe”
“Hahahaha” Tiba-tiba Faris ikutan tertawa.
“Ris? Kamu paham?” Tanyaku dari balik punggungnya.
“Tadi paham, tapi sekarang lupa” Pungkasnya ngeles.
“Hahaha, intinya itu, kalau ndak salah lho ya dek; beliau tadi memberikan filosofi tentang betapa besarnya makna penghambaan seorang muslim kepada Allah saat sedang sholat, khususnya dalam posisi sujud. Soalnya, wajah itukan iconicnya manusia, hal yang pertama kali akan ditutupi oleh manusia ketika mereka merasa malu, simbol dari martabat dan kehormatan”
Akhirnya Kak Rumaisha buka suara. Faris dan Anas yang duduk di depan kami pun jadi ikut paham setelah penjelasan itu. Mungkin sebenarnya tema kajian ini cukup menarik. Cak Zuhud pun kurasa sangat bersahaja. Aku baru pertama kali datang ke kajian di luar kampus seperti ini. Dan karena aku tahu persis bahwa, untuk menarik minat anak muda agar mau menghadiri kajian islam itu adalah sesuatu yang sulit; jujur saja, keramaian ini membuatku jadi kagum dengan Cak Zuhud.
Bagaimana bisa orang setua beliau masih dapat eksis di kalangan anak muda. Apalagi jamaah kajian malam ini sungguh didominasi oleh anak-anak seusiaku. Beliau bisa membuat anak-anak muda ini untuk lebih memilih duduk di majelisnya, daripada hang out dan bermain sebagaimana kebiasaan anak muda pada umumnya. Jumlahnya pun banyak sekali. Bahkan kurasa, auditorium di kampusku saja tidak akan cukup untuk menampung orang sebanyak ini. Sungguh mashaallah. Hanya sayang saja, aku tidak begitu mengerti bahasa jawa. Sehingga ilmu yang beliau sampaikan, tidak begitu membekas untuk diriku.
“Hmm, kok jadi kayak orang budha dan hindu ya?” Tiba-tiba Kak Shafiyyah bergumam sendiri.
“Apa kak? Kenapa?” Aku coba mengimbangi bisikannya.
“Eh, kamu dengar to dek? Itu lho, barusan Cak Zuhud bilang kalau tauhid dalam bahasa jawab artinya sama dengan nyawiji”
“Nyawiji itu apa kak?”
“Menyatukan dirimu kepada Allah, gitu kalau kata beliau tadi dek”
“Heee? Emang manusia bisa menyatu dengan tuhan kak?”
“Itulah dek, setahuku pas dulu baca artikel soal larangan yoga bagi umat muslim, ini tuh sama konsepnya dengan ritual agama Budha dan Hindu kalau gak salah dek”
“Lho, emang yoga gak boleh buat umat muslim kak?”
“Iya, tapi aku lupa detail penjelasannya dek”
Kemudian Kak Rumaisha ikut berdiskusi dengan kami. Syukurlah dia juga pernah membaca artikel serupa tentang pandangan syariat islam terhadap yoga. Jadi, kami pun perlahan hanyut dalam penjelasan-penjelasannya.
“Yoga itu berasal dari suku kata yuj, dalam bahasa sansekerta berarti ‘menghubungkan’ atau ‘mempersatukan’. Jadi, secara bahasa, yoga itu bermakna menyatu atau manunggal dengan kesadaran Tuhan atau kenyataan diri sendiri. Bisa juga dibilang kalau yoga itu adalah sebuah ritual untuk mengantarkan seseorang pada kemanunggalan dirinya dengan sang pencipta”
Kata Kak Rumaisha, dari sebuah artikel yang pernah ia baca; aslinya yoga ini merupakan ibadah orang-orang hindu. Apalagi bagi para pemuja Sai Baba, yoga telah menjadi sebuah kewajiban tersendiri. Sai Baba bahkan selalu mengingatkan para pemujanya bahwa Tuhan itu ada di dalam diri setiap orang. Sehingga menurut Sai Baba setiap manusia adalah Tuhan.
Dan ternyata, jumhur ulama telah memvonis ideologi wahdatul wujud sebagai sebuah ideologi kafir. Wahdatul wujud itu adalah konsep tentang penyatuan tuhan dengan makhluk-Nya. Sebuah ideologi yang sangat rawan untuk menyusup ke dalam pencapaian puncak spiritual tertinggi dalam ajaran meditasi yoga.
Aku sih belum pernah ikut yoga. Bahkan sama sekali belum pernah mencari tahu tentang manfaat ataupun gerakan dari yoga. Tapi Kak Rumaisha kembali memberiku satu pengetahuan baru. Bahwa ternyata, kalimat “om yoga om” yang sering dilafalkan sebelum latihan yoga, sebenarnya merupakan mantra syirik. Sebab suku kata “om” merupakan suku kata yang sering digunakan oleh pemeluk agama hindu atau budha.
“Emang ada orang yang mau disuruh nyebut kalimat yang gak dia paham gitu secara berulang-ulang ya sha?” Kak Shafiyyah mulai penasaran.
“Umm, kalau dari yang kubaca lho ya yah, biasanya mantra syirik itutuh disamarin dengan istilah chanting. Chanting itu penyebutan kalimat berulang yang tujuannya untuk memusatkan konsentrasi.”
“Berarti kalau yoganya gak pakai kalimat om yoga om itu, gak papakan kak?” Aku mencoba mendalami materi yang disampaikan Kak Rumaisha.
“Sebenarnya, praktik yoga itu mirip dengan kegiatan olah tubuh dek. Tapi, pada dasarnya kegiatan yoga ini dibuat memang untuk tujuan ritual tertantu. Dan nama asli dari olah tubuh yang diterapkan dalam yoga sendiri asalnya dari bahasa sansekerta, yaitu sastanga suriyanama sakar. Artinya, sujud kepada matahari dengan delapan anggota tubuh. Jadi, memang pada dasarnya yoga itu bukan olahraga murni sebagaimana yang diklaim saat ini oleh kebanyakan penggiatnya dek”
Delapan anggota tubuh? Rasanya mirip seperti konsep sujud dalam sholat ya? Tapi sujud hanya melibatkan tujuh anggota badan saja. Yaitu dua lutut, ujung kaki, dua telapak tangan, dahi, dan hidung. Lalu, bagaimana dengan delapan anggota yang tadi sebutkan Kak Rumaisha?
“Gerakan yoga secara khusus bertumpu pada sepuluh gerakan. Salah satu bentuk gerakannya adalah gerakan menelungkup di atas tanah dengan keadaan memanjang, hingga kedelapan anggota tubuhnya menyentuh tanah. Seperti; dua tangan, hidung, dada, dua lutut, dan jari-jemari dua telapak tangan”