Semua hal terasa cepat berputar jika kita menjalaninya dengan kesadaran diri akan qodarullah. Begitu pun dengan hari demi hari yang telah mengantarkan kami pada momen ini. Ketika semua persiapan akhirnya terwujud. Dan riuh-riuh doa mulai menampakkan jawabannya. Sebentar lagi, Pernak-Pernik Ramadhan akan melebarkan sayapnya. Membentuk satu sejarah baru di dalam pergerakan dakwah HIMA Islam. Khususnya, di dalam diri kami masing-masing.
“Geser sana dikit yoooook”
Itulah sekilas suara barisan laki-laki yang sedang memposisikan tiang besar nan tinggi di bawah lighting rigging. Faris yang bertubuh paling gempal telah mengambil alih pergerakan mereka. Tentu saja, ada Fatih di atas sana. Dia bergelayut di ujung tiang, dengan rasa takut yang mungkin disembunyikannya. Kata Zaid, begitulah cara seorang lighting man profesional dalam menata lampu. Harus ada yang berletih-letih di bawah. Dan harus ada yang bercemas-cemas di atas.
Tapi syukurlah, banyak volunteer yang berkenan membantu event Ramadhan esok hari. Jadi, Faris tidak harus mendadak kurus karena menarik dan mendorong tiang sebesar itu seorang diri. Jumlah pasukan srikandi pun mendadak banyak. Sehingga kami bisa ikut serta merekonstruksi posisi kursi di auditorium ini. Sebagian ada yang sibuk menggelar red carpet, mendekorasi stage, menguji coba visual layer, check sound, dan yang utama adalah; ada yang sibuk memastikan bahwa kami tidak dehidrasi dan kelaparan di ujung malam yang kian dingin ini.
“Nah, mobil bak buat angkut barang diparkir dimana ya?” Fatih menghampiriku di tengah suasana yang kian ramai dan menyibukkan.
“Eh? Gak tahu ya tih, coba tanya Anas, diakan PIC perizinan”
“Ane gak lihat Anas lho dari tadi”
“Serius? Sek sek coba kutelp, mungkin dia lagi makan”
“Lho, Anaskan izin ke kajian dek” Seru Kak Syifa di sela aktivitasnya.
“Kapan kak?” Tanya Fatih yang mulai geger.
“Dari habis isya, tadinya aku juga mau ikut, tapi tugasku di sini belum selesai”
“Lho, siapa yang kasih izin?” Tiba-tiba Faris ikut emosi.
“Kan tugas dia sudah selesai, gak papalah, orang nuntut ilmu itu jangan dipersalahkan” Pungkas Kak Syifa yang kemudian melanjutkan aktivitasnya.
Ada rasa kesal yang tertahan di ujung lidah. Meskipun tidak berkomentar apapun, aku yakin Fatih dan Faris pun merasakan hal yang sama. Sebab, bagaimana bisa Anas melewatkan persiapan malam ini, hanya dengan sebuah alasan klise seperti itu? Katanya, tugas dia sudah selesai? Yang benar saja! Apa dia pikir seperti itu cara kerja tim? Di saat urusannya sudah selesai, dia boleh menutup mata dari kesusahan rekan-rekannya. Yang jelas, urusan kita ini baru akan benar-benar selesai jika acaranya sudah terselenggara. Harusnya seperti itu!
“Bruggg” Aku membanting badanku di atas kursi.
“Eh, kenapa dek?” Tanya Kak Rumaisha yang sedang menata kursi bersama Ikrima.
“Anas tuh egois banget sih kak” Aku mulai berbicara dengan tatapan kosong.
“Kenapa Anas?” Tanya Ikrima penasaran.
“Masa dia pergi ke kajian di saat kita lagi gotong royong gini!”
“Lho, Anas pergi ke kajian Cak Zuhud lagi?”
“Cak Zuhud?”
“Iya, setelah kajian malam itu, Anas pernah dateng ke Kak Hamzah, minta dikasih info kalau ada kajian Cak Zuhud lagi. Dan kayaknya udah beberapa kali juga dia datang ke sana”
Pantas saja belakangan ini dia jarang ikut agenda HIMA Islam. Kadang bahkan telat datang meeting. Beberapa kali juga kesiangan datang di KOPI ABATA. Aku memang sudah merasa bahwa Anas mulai memiliki dunianya sendiri. Tapi tidak kusangka bahwa dunianya kini sama persis dengan dunianya Kak Hamzah. Aku sungguh ingin berdamai dengan prasangka burukku terhadap Cak Zuhud. Namun semua hal yang terjadi, selalu membuatku kian bersengketa dengan image beliau.
Kali ini, aku mencoba memberanikan diri untuk menghampiri Kak Hamzah yang sedang membantu Faris dan volunteer lainnya. Walaupun aku tahu mereka sedang dilanda lelah karena harus mengangkut beberapa lighting dari workshop tanpa bantuan mobil; tapi tetap saja aku ingin berbicara dengan Kak Hamzah. Aku ingin mengadukan sikap Anas kepadanya. Kuharap, malam ini dia akan kembali menjadi bijaksana seperti Kak Hamzah yang dulu.
“Kak” Aku berjalan menghampirinya.
“.....” Kak Hamzah menoleh dan menghentikan langkahnya.
“Nah, bantuin aku yuk” Tiba-tiba suara Ikrima memadati kuping kananku.
“Bantuin apa sih Ik? Sini kubantu” Entah kenapa Hafsah berusaha keras memisahkan Ikrima dariku dan Kak Hamzah.
“Iya Ik, sini sini tak bantu” Ternyata ada Saiba juga. Entah dari mana mereka berdatangan, tapi terima kasih ya!
“Eh?” Ikrima masih terlihat berusaha bertahan, sambil menatap Kak Hamzah.
“Kamu pergi dulu ya Ik” Pinta Kak Hamzah lembut kepada Ikrima.
Apa? Kak Hamzah menyuruh Ikrima untuk pergi? Ini benar-benar suatu keajaiban. Rasanya aku bahkan lupa kalau dulu Kak Hamzah memang selalu mengutamakanku daripada Ikrima. Kejadian lama yang terus saja kuharapkan. Dan finally malam ini Kak Hamzah sudah kembali. Kakak, i miss you. Aku tidak peduli hubungan apa yang terjadi di antara kalian berdua. Bagiku, asal Kak Hamzah bisa seperti dulu kepadaku, itu sudah cukup. Aku hanya ingin menjadi seorang adik yang selalu dihiburnya.
“Ada apa Asma?” Kak Hamzah mulai meletakkan lampu yang dibawanya.
“Anas pergi ke kajian yang kakak share ke dia!”
“Oh ya? Bagus dong” Dia mulai tersenyum lembut.
“Tapi inikan lagi urgent kak. Lihat, kalian jadi harus jalan kaki bawa-bawa lampu yang gak enteng ginikan?! Harusnya dia tanya dulu apa kita masih perlu mobilnya atau gak! Jangan asal kembaliin ke staff kampus aja! Gak ada komunikasinya banget sih!”
“Hahaha, kamu itu marah sama Anas, atau sama NU? Aku amatin kayaknya sejak malam itu, kamu alergi banget buat datang ke kajian Cak Zuhud lagi ma”
“Kakak salah, aku itu bukan marah sama dua-duanya, aku itu marah sama kakak! Dan aku itu bukan alergi datang ke kajian luar, tapi aku cuma gak mau berubah jadi nyebelin kayak kakak!”
“Hahaha, emang aku jadi senyebelin itu ya ma?”