Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #21

Menyapa X-HTI

Jika langit saja boleh sesekali mendung. Kenapa manusia harus merasa berakhir hanya karena redupnya persaudaraan? Tidakkah pelangi akan datang selepas hujan pergi? Begitu juga dengan HIMA Islam. Setelah beberapa hari yang menegangkan berakhir, kini sembilah pelangi pun telah lahir. Kami semua berkumpul di ujung sore. Menyambut satu lagi hadiah dari Allah yang akan menggenapi perjuangan kami.

Kak Muazah masih berhalangan hadir karena urusan KKNnya. Begitupun Kak Laila dengan sejuta drama skripsinya. Tapi selain mereka berdua, lingkaran kami hampir sempurna sore ini. Kak Hamzah bahkan terlihat antusias untuk menyambut saudara baru kami. Seorang volunteer PPR yang kemudian Allah tautkan hatinya kepada kami.

Belum ada yang tahu alasan apa yang mendorong minatnya terhadap HIMA Islam. Sebanyak yang sudah terucap, ia hanya mengakui adanya rasa nyaman selama berinteraksi dan bekerjasama dengan kami dalam event PPR beberapa hari lalu. Tapi kami sepertinya juga penasaran tentang alasan apa yang membuatnya menunda untuk bergabung di awal tahun lalu. Dan tentu saja, kami juga penasaran tentang image anggota HIMA Islam di matanya, terkhusus sebelum ia bergabung sebagai volunteer Pernak-Pernik Ramadhan.

 

“Mashaallah, jadi kamu seangkatan sama Asma, Saiba, dan Hafsah ya?” Ujar Kak Hamzah, menanggapi sesi perkenalan saudara baru kami.

“Iya kak, tapi beda jurusan” Meskipun dia terlihat bingung dengan nama Asma, tapi sepertinya dia masih mengenal Saiba dan Hafsah.

“Dek Gazalah, eh.. benar gak to panggilannya Gazalah?” Kak Shafiyyah menyapa.

“Hahaha iya benar kak, bisa dipanggil aza juga. Tapi di rumah dipanggilnya Gaza”

“Wedeeeh, kayak nama daerah di Palestina ya za!” Kak Syifa ikut menyapa.

“Hehehe, iya kak”

“Btw lu kenapa baru gabung HIMA Islam sekarang za?” Tanya Faris dengan nada pertemanan.

“Ehehehe, iyaaa, mashallah... akutu tadinya ragu mau gabung, tapi terus aku kagum aja karena kemarin kalian berani undang Ust. Fixi sebagai pemateri PPR. Padahal beliau lagi banyak diboikot sama lembaga kajian lainnya, karena fitnah.”

 

Fitnah? Apa separah itu image buruk Ust. Fixi yang sedang naik ke permukaan? Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Kak Hamzah di awal pemasangan poster PPR waktu itu? Kalau diingat-ingat, pembahasan kami soal khawarij memang belum tuntas sih. Rasanya belum ada benang merah yang bisa kupetik antara Ust. Fixi dengan khawarij. Tapi aku sendiri memang belum pernah mencari tahu lebih dalam terkait berita miring yang sedang melanda beliau. Jadi wajar saja jika wawasanku belum berkembang tentang itu semua.

Awalnya semua masih merespon dengan ramah. Meskipun ada rasa penasaran yang mungkin bukan hanya menggelitikku. Tapi kami berusaha untuk tidak menyinggung hal-hal yang terlalu personal lebih dulu. Apalagi mengingat ini adalah pertemuan pertama kami dengan Gazalah.

Jadi, kurasa apa yang sedang dilakukan Zaid, Kak Rumaisha, dan Saiba adalah sesuatu yang lebih tepat untuk saat ini. Yaaa, membahas hal-hal yang ringan saja. Seperti memperkenalkan dan mengajaknya untuk aktif di program KOPI ABATA, KOPI ARABICA, serta ISDAY. Menanyakan pendapatnya tentang evaluasi program dakwah HIMA Islam. Dan saling memperkenalkan satu sama lain, lengkap dengan ciri khasnya masing-masing, yang tentu saja mengundang tawa.

 

“Maaf ya za, saya mau meluruskan aja nih; kamu gak mikir kalau kita semua yang ada di sini itu HTI kan?” Kak Hamzah kembali menampakkan taringnya.

“Eh? Enggak kok kak” Jawab gadis berbusana gamis itu.

“Tapi kamu dulunya HTI ya?” Lagi-lagi Kak Hamzah berwajah masam.

“Iya kak, ada masalahkah?” Kini, Gazalah mulai merasa tidak nyaman.

“Mmm, maaf za. Kamu jangan tersinggung ya, Kak Hamzah gak ada maksud apa-apa. Cuma make sure aja kalau kamu tidak berekspektasi lebih ke kita. Karena kita ini heterogen banget hehehe” Kali ini Ikrima yang mulai ambil peran.

“Ohh, iya gak papa kok Ikrima. Aku cuma gabung dengan kalian karena aku merasa kalian hebat. Tidak termakan isu agama dan tidak anti HTI” Jawab Gazalah dengan senyuman teduh.

 

Aku melihat Zaid menepuk jidatnya begitu Gazalah menutup mulut. Suasana sempat kikuk untuk beberapa detik. Tapi Fatih, selaku ketua HIMA Islam kembali berusaha membangun aura positif di antara halaqoh ini. Tanpa persiapan yang matang, Fatih mulai mengajak kami untuk membahas agenda PHBI berikutnya. Dia bahkan mulai iseng menunjuk beberapa di antara kami sebagai ketua pelaksana dari agenda tersebut. Tapi lagi-lagi, di tengah diskusi asik kami; Kak Hamzah kembali meresahkan Gazalah dengan pertanyaan-pertanyaan yang entah kenapa tidak bisa disimpannya sendiri saja.

 

“Ngomong-ngomong, NU sama Muhammadiyyah itukan ormas islam yang udah familiar ya. Dekat sama kultur masyarakat Indonesia. Nah, kalau HTI ini sebenarnya gimana sih za?”

“Hehe, kayaknya saya kurang pantes untuk menjelaskan biografi HTI kak, karena waktu itu saya pun belum lama ikut HTI”

“Ohh, baru? Udah tahu latar belakang terbentuknya HTI?”

“Iya belum lama kak, tapi kalau gak salah Hizbuz Tahrir itu didirikannya sama salah seorang ulama dari Palestina, yang beliau tidak mau menggunakan sistem demokrasi dalam berkepemerintahan”

“Waduuuuh, tapikan negara kita negara demokrasi za. Gimana itu?” Kak Hamzah semakin menjadi-jadi dengan ekspresi wajahnya yang terkesan meremehkan.

 

Kak Hamzah membacakan salah satu hadits riwayat muslim nomer seribu delapan ratus tiga puluh lima, yang inti dalilnya adalah barang siapa menaati Rasulullah, maka ia telah menaati Allah, dan barang siapa yang menaati pemimpin, maka ia telah menaati Rasulullah. Sehingga dalam makna lain dapat diartikan bahwa ketika kita durhaka kebada kepemimpinan yang sah, maka itu sama artinya dengan telah durhaka kepada Allah dan Rasulullah.

Semakin Kak Hamzah melontarkan berbagai pertanyaan, entah kenapa aku semakin merasa momen ini lebih seperti penghakiman. Gazalah lebih banyak diam dan mendengarkan. Sesekali kepalanya mengangguk. Memberi isyarat persetujuan. Tapi aku yakin bahwa hatinya terluka. Terlepas dari apakah yang disampaikan Kak Hamzah benar atau salah. Aku tetap tidak setuju dengan caranya dalam menyampaikan argumen.

Bukankah islam mengajarkan kita untuk mendahulukan adab daripada ilmu? Lagipula aku juga pernah baca beberapa dalil yang menyinggung tentang adab dalam menasehati. Di antaranya tidak boleh dilakukan di depan umum karena hal itu lebih terlihat seperti mempermalukan. Selain itu juga tidak boleh dilakukan dengan hati yang sudah berprasangka. Dan kurasa Kak Hamzah memang sudah terlanjur memiliki sentimen tersendiri dengn HTI.

Lihat selengkapnya