Ini adalah hari yang hebat bagi jiwa yang giat. Untuk kali pertama, Kak Laila mengajak kami rihlah ke islamic book fair. Selama liqo, Kak Laila memang sudah beberapa kali mengajak kami ke luar. Bermuhasabah dengan alam. Memberi waktu bagi diri untuk mengagumi setiap dari ciptaan Allah. Merenungkan tujuan diri atas hidup ini. Serta mengaitkan segala sesuatunya dengan kebaikan Allah terhadap kita, sebagai makhluk-Nya.
Berbeda dengan agenda rihlah biasanya. Kali ini kami tidak melihat alam. Tidak ada desir angin sore di dalam sini. Tapi, walau begitu, tetap ada hamparan ilmu yang telah membentang luas di depan mata kami. Sungguh menyejukkan mata. Apalagi bagi remaja yang suka khilaf dengan diskonan—seperti kami. Meskipun belum tentu sanggup untuk membacanya dengan istiqomah; aku, Saiba dan Hafsah tetap berlomba memburu buku bacaan yang menarik.
Aku membeli buku fiqih wanita, bahaya hutang dan riba, serta bundling book seputar pra, proses dan pasca menikah. Tidak ada alasan khusus untuk memilih semua buku ini. Kurasa aku bahkan belum benar-benar tertarik dengan semua materi itu. Hanya saja, karena kurasa buku setebal ini belum tentu bisa kubeli di lain waktu dengan harga di bawah seratus ribu; jadi tidak ada salahnya. Toh covernya juga cantik. Aku memang suka melihat buku dari cover dan judulnya.
Kami bahkan tidak hanya membeli beberapa buku. Syukurlah ini ‘awal bulan’. Jadi, masih ada cukup uang untuk membeli selembar gamis, beberapa kaos kaki warna-warni yang ruas jempolnya terpisah dengan jari lain, dan beberapa handsock manset yang cantik dan variatif.
Barang-barang yang dijual di sini sunggah indah dan murah. Kami bertiga sampai pusing untuk memanage keuangan. Rasanya ingin sekali memborong banyak item. Tapi Kak Muazah yang selalu memantau di balik pundak kami tidak pernah berhenti mengingatkan, bahwa boros itu temannya setan. Itu lho, yang ada di surat Al-Isra’ ayat dua puluh enam dan dua puluh tujuh.
“Hiihiihii, istighfar dek” Ledek Kak Muazah kepada aku, Saiba dan Hafsah.
“Adooooh, gak kuat ya allah” Rengek Hafsah dengan logat jakartanya.
“Parraaah sih ini mah” Saiba menimpali.
“Hahaha, muter sekali lagi boleh ya kaaaa?” Pintaku pada Kak Laila, Kak Muazah, Kak Syifa, Kak Shafiyyah dan Kak Rumaisha yang sedari tadi hanya membuntuti kami. Mungkin, karena ini bukan kali pertemanya mereka menghadiri acara seperti ini. Jadi mereka tidak seheboh kami.
“Mau muter berapa kali lagi dek? Ini sudah tiga kali lho. Yuk udah. Cari bangku di sana. Kajiannya mau dimulai sebentar lagi” Kak Laila mengeluarkan fatwanya.
Oh iya. Aku tidak tahu apakah kalian sudah tahu atau belum. Tapi akan kusampaikan pada kalian; bahwa di event islamic book fair ini bukan hanya ada bazar buku dan pakaian muslim lho. Melainkan ada juga kajiannya. Bahkan, kajian inilah yang lebih banyak mengundang minat dan kehadiran anak-anak muda seperti kami. Apalagi jika pematerinya terkenal, atau materinya menyinggung kebutuhan milenial.
Kak Laila bilang, biasanya pasti akan ramai. Dan mashaallahnya lagi, kajian seperti ini bisa berlangsung sebanyak dua sampai empat kali dalam sehari. Tentu saja dengan pemateri dan judul materi yang variatif.
“Kak, kajiannya hari ini doang ya?” Aku mulai berbisik karena MC sudah membuka kajian sore ini.
“Biasanya tiap hari selama event islamic book fairnya masih ada dek” Jawab Kak Syifa yang duduk di sebelahku.
“Mashaallah”
“Ekheeem” Kak Laila menegurku dan Kak Syifa dari depan.
Materi kajian hari ini sepertinya kurang menarik. Banyak kursi lenggang di sekitar kami. Orang lebih terlihat asik mengitari labirin bazar di belakangku. Aku juga sempat menguap beberapa kali. Tapi setiap kali ingat ucapan Kak Laila, bahwa ciri-ciri orang yang di dalam dirinya ada jin itu—adalah suka mengantuk ketika sedang berada di forum yang bisa mendekatkannya dengan Allah; aku pun lantas memaksa mataku untuk terjaga.
Kata Kak Rumaisha, kita bisa menghindari gangguan jin dengan cara beristighfar. Jadi aku pun beristighfar. Dan terus beristighfar sampai konsentrasiku memulih.
“Kak, itu di poster ada tema yang lebih seru lho nanti malam, ikhlas move on”
“Hahaha, emang kamu mau move on dari siapa e dek?” Kak Shafiyyah yang duduk di sebelah Kak Syifa pun menyambar.
“Ejieeee, Hamnah puber nih kayaknya” Kak Syifa ikut terpancing.
“Hee? Yo gak ada sih kak hahaha, tapi kedengerannya lebih seru aja”
“Kaaaa, Hamnah berisik nih” Saiba yang duduk di sebelahku mendadak merajuk. Dia memang paling senang melihatku jadi bulan-bulanannya Kak Laila.
“Dek!” Kak Laila kembali menoleh dan memberiku kartu kuning yang kedua. Kali ini aku harus benar-benar diam. Jika kembali berulah, kartu merahku akan mengudara.
***
Malam semakin gelap. Dan beberapa di antara kami masih sedang beradaptasi dengan suhu dingin yang ada di sini. Ini adalah MABIT pertama kami. Mungkin anak-anak pramuka biasa menyebutnya dengan PERSAMI. MABIT pun demikian. Kata Kak Laila, MABIT itu kependekan dari Malam Bina Iman dan Takwa. Dan seperti namanya, tentu saja ini bukan sekedar malam kebersamaan. Ini akan menjadi malam yang berat bagi kami, karena Kak Laila baru saja membacakan rundown acaranya.
Tadi, tepat selepas sholat maghrib sehabis dari kajian islamic book fair. Kami langsung berangkat ke rumah Kak Laila yang berada di daerah Turi. Walaupun sama-sama masih di Yogyakarta. Namun suasana di sini jauh lebih asri daripada di sekitar kampus dan kosku. Sepanjang jalan menuju rumah Kak Laila, aku takjub sekali memandangi bias ribuan pohon salak yang memadati kebun-kebun penduduk sekitar. Aku baru tahu, ternyata pohon salak seperti itu ya.
Begitu sampai rumah Kak Laila. Kami langsung disambut ramah oleh ayah dan ibu Kak Laila. Bahkan sudah ada hidangan hangat di atas meja. Sepertinya mereka tahu sekali kebutuhan tamu-tamu ini. Khususnya aku dan Hafsah yang baru pertama kali ke daerah Turi.
Kalau tahu akan sedingin ini, kami pasti akan membawa jaket, seperti Saiba dan kakak-kakak yang lain. Di sepanjang jalan tadi pun aku hanya bisa merunduk dan merapat kepada punggung Saiba yang gempal. Dia menertawakanku. Tapi juga menawarkan jaketnya untukku. Tentu saja kutolak. Karena itukan bukan sebuah solusi.
“Jazakillahu khairon Dek Syifa untuk pembacaan ayat suci al-qur’annya. Sekarang, ada yang mau menyampaikan hikmah dari kajian yang kita datangin tadi sore?” Kak Laila melempar pertanyaan.
“Kak?” Aku angkat tangan untuk yang kedua kalinya setelah liqo malam ini dibuka.
“Ya, silahkan dek” Ujar Kak Laila bangga.
“Mau ke toilet kak” Dan untuk kedua kalinya aku kembali minta izin.
“Hahaha mashaallah, sedingin itu po dek? Kamu sudah mbuntel selimut gitu lho padahal” Kak Rumaisha ikut terhibur.
“Kamu disambi minum teh anget terus soalnya sih” Kali ini giliran Kak Syifa yang menertawakanku.
Beberapa saat begitu aku balik dari toilet, suasana kembali formal. Kak Laila melanjutkan pertanyaannya. Dan tentu saja bukan aku yang menjawab. Karena menurutku, materi kajian sore tadi memang kurang menarik. Sehingga meskipun tidak mengantuk, fokusku tetap tidak bisa menepi.
By the way, judul kajian tadi itu adalah “10 Ciri Aliran Sesat dalam Fatwa MUI”. Bagaimana menurut kalian? Menarikkah? Sejauh ini, aku masih lebih tertarik dengan materi seputar sejarah islam dan biografi para sahabat. Di luar itu, semua terasa terlalu berat untuk dipahami.
“Mashaallah, bagus Dek Saiba. Benar sekali, jadi ada sepuluh point yang termaktub dalam fatwa MUI sebagai ciri-ciri atau bahan dasar kita dalam mengkaji benar atau sesatnya sebuah aliran. Tapi, kenapa sih kita harus mengenal sepuluh ciri tersebut?” Kak Laila memancing jawaban.
“Biar gak mudah dicuci otaknya kalau ikut kajian kak” Kak Syifa mencoba mengeluarkan pendapatnya.
“Mashaallah, hampir tepat Dek Syifa. Ada yang mau menyempurnakan?”
“Supaya kita bisa menghindari kekeliruan dalam memilih forum belajar agama po kak?” Terdengar ragu, tapi sepertinya Kak Shafiyyah yakin dengan pikirannya.
“Mashallah, hampir benar dek. Ada lagi ada lagi?”
“Hahaha apa ya kak?” Saiba bergumam sendiri saking antusiasnya untuk menjawab.
“Hooo, aku tahu! Biar gak kayak Kak Hamzah kemarin ke Gazalah waktu itu to kaaa?!” Aku mulai teringat sesuatu.