Tahun pertamaku hampir berlalu di sini. Jika perputaran waktu telah menjadi satu pembiasaan dalam beradabtasi; seharusnya, semua terasa semakin mudah. Semestinya segala situasi mulai terbiasa untuk diatasi. Tapi ternyata tidak dengan diriku. Waktu justru terasa berputar mudur, dan semakin membawaku pada keterasingan yang sunyi. Sampai kemudian aku merasa, bahwa hari ini jauh lebih menegangkan daripada hari pertamaku dimaki oleh Kak Hamzah. Atau hari pertamaku menghadiri open recruitment HIMA Islam.
Setelah lebih dari dua bulan Ikrima menyabotase segala waktuku bersama Kak Hamzah. Pagi ini Sunshine-ku juga redup. Entah harus dengan kalimat apa aku mengeluhkan perasaan ini. Rasa sepi, kehilangan, kesendirian, kebingungan, dan ketakutan—semua bersarang dalam rongga dadaku. Menyesakkan sampai ke tulang sulbi yang terkuat sekalipun. Aku sedih. Tapi keramaian dan deret aktivitas tidak memberiku kesempatan untuk menangisi segalanya.
“Nah, kamu mau ke kelas?” Tanya Biyan.
“Bareng yaaaaa” Sahut Resti.
“Boleh” Jawabku dengan tersenyum.
Kalian masih ingat siapa mereka? Iya, benar! Mereka adalah teman sekelasku yang telah berbulan-bulan memusuhiku hanya karena aku pernah menegur sikap mereka. Kalau ingat nasihat Kak Hamzah waktu itu, aku pun memang salah sih. Tidak sebaiknya seseorang yang sedang marah, justru bertindak menasehati orang lain yang jelas-jelas telah membuatnya marah. Orang marah itu sebaiknya diam dan menenangkan diri lebih dulu—seperti sunnah Rasulullah. Tapi celakanya aku justru memprotes sikap mereka, bahkan sampai membawa-bawa urusan hatinya Biyan dengan Kak Hamzah. Dasar jahat. Hamnah yang seperti itu semoga saja tidak ada lagi di masa depan.
“Eh itu kayaknya Ikrima pacaran ya sama Kak Hamzah?” Tanya Biyan dengan polanya yang masih sama dengan Biyan semester satu lalu.
“Hehe, enggaklah” Aku berusaha netral, meskipun aku juga tidak suka dengan Ikrima yang selalu menempel dengan Kak Hamzah.
“Kayaknya kamu dibuang gak sih nah?” Kali ini Resti yang memancingku.
“Hahaha” Aku hanya tertawa, tidak tahu harus berkomentar apa.
Sejak semester dua ini, hubungan kami membaik. Resti dan Biyan tidak lagi menghindari kehadiranku. Terlebih setelah keakrabanku dengan Kak Hamzah merenggang. Mereka terlihat semakin antusias dalam membangun interaksi denganku. Entah apa yang mereka harapkan dari pertemanan kami. Tapi kalau boleh jujur, aku justru lebih nyaman untuk tidak terlalu dekat dengan mereka. Apalagi jika harus mendengar cibiran mereka terhadap Ikrima. Serius deh, apa mereka pikir aku akan bergabung dengan kubu mereka untuk menjadi hatersnya Kak Hamzah dan Ikrima? Rasanya genre hidupku tidak sedrama itu!
“Nah, kamukan anak HIMA Islam ya. Aku mau tanya dong”
“Apa?” Lagi-lagi Biyan membuat perasaanku tidak enak.
“Emang yang dilakuin Kak Hamzah sama Ikrima itu gak dosa ya?”
“Hehe, aku gak tahu bi, akukan bukan malaikat Raqib dan Atid”
“Eh iya tahu nah, tapi merekan goncengan mulu kemana-mana” Sambung Resti.
“Terus? Kalian berharap aku ngapain?”
“Ya dihukumi pakai hukuman islam dong nah, kaliankan contoh buat mahasiswa muslim di kampus ini. Masa gitu”
“.............”