Imam baru saja mengucapkan salam, dan aku mengikuti kalimatnya sebagaimana jamaah lain. Kami saling bersalaman, lalu kembali berbincang dengan Allah memalui cara yang berbeda-beda. Ada yang berdoa. Ada yang beristighfar. Ada juga yang bermuhasabah. Tapi kali ini posisi kami jauh lebih renggang. Karena selain beberapa orang yang lantas bangkit selepas salam, ada juga yang memilih untuk mundur dari shaff.
Aku rindu menatap sunshine. Aku rindu melihat mereka saling beradu tumit denganku. Merapatkan barisan sesaat sebelum melakukan perjalanan spiritual ketika setiap hamba menghadap Rabbnya. Aku rindu bersalaman dengan mereka selepas sholat. Aku rindu bersama mereka, merapihkan tumpukan mukena yang dibiarkan berantakan oleh orang-orang. Dari posisiku ini, aku bahkan bisa melihat ada kami di serambi masjid itu. Lengkap bersama trio kocak, berdiskusi mengenai event Pernak-Pernik Ramadhan sembari menunggu bapak bakwan malang mengantarkan pesanan kami. Sebuah ilusi yang hangat.
“Dek Hamnaaaah” sapa seorang wanita yang baru saja bermaksud meninggalkan masjid.
“Kak Rumaishaaaa” Aku seketika beranjak dan memeluknya dengan mata yang tidak lagi bisa membendung kerinduannya.
“Eeee ya allah, kamu kenapa e dek?”
“Kak, aku kangen liqo, aku kangen sunshine”
“Ululululu” Kak Rumaisha memelukku dengan lebih erat.
Seperti kejatuhan durian runtuh, entah sudah berapa hari kami lost contact sejak saling memutuskan untuk keluar dari grup whatsapp liqo. Entah sudah berapa kalimat typing yang berulang kali kuhapus hanya karena tidak lagi menemukan materi dialog yang tepat dengan mereka. Tiba-tiba semua harapanku menjadi nyata. Bukan hanya Kak Rumaisha, aku juga dipeluk oleh Kak Syifa dan Kak Shafiyyah yang ternyata baru keluar kelas dan ingin menunaikan sholat zuhur. Sebuah pelukan yang selama setahun ini telah membentengi imanku dari kefuturan. Pelukan yang entah kenapa harus dipisahkan oleh madzhab dan golongan.
“Cup cup cup, kita masih di sini dek, gak kemana-mana, chat aja kalau butuh apa-apa, jangan jadi canggung gituuuu” Kak Shafiyyah menghiburku.
“Tau ih Hamnah drama banget hahaha, aku sama Shafiyyah aja beda NU sama Muhammadiyyah tapi di kelas tetap ketawa bareng kok” Kali ini Kak Syifa berusaha menjernihkan pikiranku.
“Bener tuh kata Mbak Cipa dek, yang bubar cuma liqonya kok, bukan ukhuwahnya, jadi gak usah merasa kehilangan gini dong. Ikut aku aja yuk?” Kak Rumaisha benar, kenapa aku harus merasa kehilangan mereka sementara tidak ada satupun kebencian yang menghalangi persaudaraan kami? Aku memang over thinking!
“Mau kemana kak?”
“Kajian, kamu masih ada kelas gak?”
“Udah gak ada sih kak”
“Yaudah yuk, kita makan, bersih-bersih, terus berangkat. Acaranya habis ashar”
“Syifa.. Shafiyyah mau ikut juga?” Sambung Kak Rumaisha.
“Ustadznya siapa sha?” Tanya Kak Syifa menimpali.
“Ust. Syatori, aku juga baru pertama kali sih mau ke kajian beliau”
“Kayaknya bukan Ustadz NU ya?”
“Emang kenapa kalau bukan NU syif?” Pungkas Kak Shafiyyah penasaran.
“Ya gak papa sebenarnya, tapi kitakan sama-sama tahu kalau di Jogja ini lagi banyak banget praktik pencucian otak berkedok kajian, jadi kalau ustadznya gak terkenal aku agak taku gitu.”
“Emang ustadz yang cipa kenal siapa aja?” Kak Rumaisha bertanya dengan santun.
“Mmm Cak Zuhud, terus Buya Yahya, teruuuus.... Gak inget, lupa hehehe”
“Yehehehe, kalau yang dikenal dan diinget cuma dua itu, berarti banyak banget dong ustadz-ustadz yang kesannya jadi jahat cippp”
“Hm iya sih sha, tapi aku gak deh, gak berani ikut aku, takuuuut”