Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #26

Sejarah Yang Terkubur

Aku baru tahu bahwa ternyata masih terlalu banyak kebenaran yang belum tersosialisasikan secara baik. Masih terlalu banyak ilmu kehidupan yang belum menjadi prioritas bagi orang-orang hidup itu sendiri. Dan masih terlalu banyak kesimpangsiuran yang beredar atas dasar minimnya wawasan. Kalau saja masa depan tetap didominasi oleh kumpulan manusia yang anti terhadap perbedaan, maka kedamaian hanya akan berakhir wacana. Sebab kebodohanlah yang akan mendikte prasangka, hingga menimbulkan kesalahpahaman demi kesalahpahaman.

Aura positif masjid hijau ini sungguh kuat. Aku belum ingin beranjak pulang, bahkan setelah isya hampir tiba. Padahal kajian sudah berakhir sejak menjelang maghrib tadi. Dan kurasa Kak Rumaisha juga merasakannya. Perasaan tenang yang hangat. Seperti rengkuhan lembut ibu yang datang tepat di saat kita terbangun dari mimpi buruk. Aku menikmati setiap pemandangan yang terhampar di dalam sini, beserta riuh bacaan al-qur’an yang terhimpun dari segala penjuru masjid. Anak-anak muda itu seolah baru saja membawaku masuk ke dalam dunia yang berbeda dari duniaku siang tadi.

 

“Kak, itu mereka ngapain sih?” Tanyaku kepada Kak Rumaisha yang masih berbalut mukena. Kami duduk bersama di dekat kolam ikan, tapi hanya dia yang sibuk menuntaskan target tilawahnya.

“Ohh, kayaknya itu lagi saling murojaah deh dek”

“Murojaah? Apaan tuh kak?”

“Hehe, mengulang hafalan dek, setoran hafalan gitu lho dek. Jadi mungkin mereka saling berhadap-hadapan gitu untuk ngecek dan ngoreksi hafalan satu sama lain. Kalau yang satu lagi murojaah, yang satunya buka al-qur’an untuk ngoreksi makharijul huruf dan tajwidnya. Terus nanti gantian”

“Ohh, ya ya aku paham”

 

Karena sudah terlanjur menjeda target tilawahnya Kak Rumaisha, aku memanfaatkan timing ini untuk sekalian memastikan beberapa hal tentang materi kajian sore tadi. Kurasa, masih ada cukup banyak pertanyaan yang belum bisa kujawab dengan kesimpulanku sendiri, dan itu sungguh mengganggu.

 

“Ngomong-ngomong nih ya kak, aku masih belum paham banget deh. Kalau emang pokok syariat itu adanya di manhaj, sedangkan madzhab itu hanya kecenderungan kita dalam memilih salah satu di antara beberapa opsi manhaj yang diperbolehkan, berarti sebenarnya kita boleh pindah-pindah madzhab gak sih kak?”

 

Aku ragu Kak Rumaisha bisa menangani pertanyaanku kali ini. Tapi kupikir tidak ada salahnya bertukar pikiran. Barangkali melalui lisan Kak Rumaisha, Allah bermaksud menyampaikan hidayah-Nya kepadaku. Who knows?

Walau sempat mengernyitkan dahinya untuk beberapa detik, akhirnya Kak Rumaisha mulai bersuara. Dia mengulang pertanyaanku sambil menutup mushafnya, dan bergeser lebih dekat ke arahku. Sepertinya dia sedang berusaha memanggil ingatannya terhadap suatu materi serupa, yang semakna dengan pertanyaanku. Kemudian dia berbisik;

 

“In shaa allah boleh dek, asalkan tidak dalam rangka talfiq”

Lihat selengkapnya