“Naaah” Terdengar suara Anas dari balik punggungku.
“Iya nas?” Aku menoleh, menahan kakiku untuk berpaling menjauh.
Kata Ikrima; jika aku ingin beresolusi dalam perkara muamalah, aku harus menjelaskannya kepada semua orang yang terlibat. Sebab jika aku hanya berharap bahwa mereka akan mengerti alasanku, sementara aku hanya membiarkan mereka berasumsi atas perubahanku; maka kesalahpahaman akan mungkin terjadi. Karena dalam sebuah hadits, jin telah berikrar untuk terus-menerus merusak persaudaraan di antara umat muslim, dengan propagandanya.
“Kayaknya habis PPR kemarin kamu teh berubah nah, kemana aja?”
“Hahaha, berubah jadi apa ceuna?” Aku mengikuti dialeg sunda Anas.
“Yeee, seriusan nah”
“Wooooy, assalamu’alaikum. Berduaan aja?!” Sapa Fatih yang entah datang dari sudut mana.
“Wa’alaikumussalam, eh tih, kapan kita urus reor HIMA Islam nih?” Tiba-tiba aku teringat program kerja tahunan.
“Nah itu dia, habis PPR kemarin, kayaknya kita sibuk semua ya. Sampai vakum hampir sebulan gini hahaha”
“Yaudah ayok ke masjid aja, kita diskusi di sana sambil pesen kupat tahu, laper ini belum makan dari pagi” Pungkas Anas.
Aku yakin bahwa Allah tidak mungkin salah paham dengan keberadaanku di tengah-tengah Anas dan Fatih. Tapi apakah aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang kulakukan ini benar di hadapan Allah? Jujur saja, entah ilham apa yang telah melekat dalam firasatku, aku hanya merasa tidak lagi nyaman untuk membiarkan diriku dalam kondisi ikhtilat. Sebuah kondisi dimana perempuan dan laki-laki yang bukan makhram berbaur dalam satu tempat, dengan risiko akan munculnya dampak negatif.
Siapa sangka, ternyata ada trio sholehah juga di serambi masjid yang sedang kami tuju. Dari kejauhan, aku merasa sedikit lega dengan keberadaan mereka di sana. Kupikir, aku jadi bukan satu-satunya perempuan di forum ini.
“Asma?” Sekelebat suara membekukan perasaanku.
Sebuah sapaan yang hanya mungkin terucap dari satu-satunya laki-laki yang telah menjadikan nama itu bagian dari identitas diriku. Aku tidak ingin menoleh. Karena jika aku berpaling ke arahnya, aku pasti akan melihat Ikrima yang selalu beridiri di sisinya. Huft... Entah kenapa perasaanku menjadi sesak setiap kali memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan Kak Hamzah dan Ikrima. Andai saja puzzle tentang hubungan mereka bisa segera kuselesaikan, mungkin perasaanku akan lebih mudah terkendali.
“Eh Kak Hamzah, lama gak kelihatan?” Sapaku padanya yang mendadak sudah berdiri di hadapanku.
“Iya, sibuk. Aku ambil part time juga di resto”
“Wehh kakak teh kerja gitu? Bukannya dari ngolah koperasi juga udah ada penghasilan kak?”
“Haha, ada nas alhamdulillah. Tapi belum nutup keperluan”
“Mashaallah, ente keren kak. Eh btw ikut syuro yuk kak” Ajak Fatih.
“Bahas reor ya?” Tanya Kak Hamzah setengah menebak.
“Iyaaa haha” Fatih menjawab, sambil merangkul bahu Kak Hamzah untuk melanjutkan langkah menuju masjid. Kami berempat pun berjalan beriringan.
Sesampainya di masjid, kami langsung bertukar sapa dengan Kak Shafiyyah, Kak Rumaisha, dan Kak Syifa yang sudah lebih dulu menghuni serambi masjid. Kami datang bertepatan dengan bapak penjual mie ayam yang sedang membawa pesanan trio sholehah ini. Aroma kuah yang berpadupadan dengan sambal membuat aku dan Anas tidak ingin kalah untuk juga memesan sepiring makan siang.
Karena masih cukup canggung dengan keberadaan Kak Hamzah, aku menawarkan diri untuk pergi memesankan pesanan Anas, Fatih dan Kak Hamzah. Aku tidak ingin terus-menerus digelayuti rasa penasaran soal keberadaan Ikrima yang entah kenapa hari ini tidak mengekor di balik sosok Kak Hamzah.
Lagipula, aku juga melihat siluet Faris dan Zaid di balik gerobak kupat tahu. Aku ingin menyapa mereka dan mengajaknya bergabung. Hahaha... memang sulit dipungkiri, nyatanya aku sungguh masih serindu ini untuk berkumpul produktif dan bertukar energi positif dengan mereka.
“Assalamu’alaikuuum...” Sapaku setengah rindu.
“Wa’alaikumussalam” Zaid dan Faris menjawabku sambil saling tatap, seolah mereka heran dengan keberadaanku di sini.
“Weeeeeh, apa kabar nah? Tumben gak sibuk?” Zaid mulai menghentikan loadingnya.