Terkadang, kehidupan memberimu secercah harapan, namun tidak memberimu ruang untuk mewujudkan. Dan jika kamu berpikir itu adalah wujud dari ketersia-siaan, kamu mungkin harus mundur kembali ke belakang, untuk sekedar mengamati; apa saja bentuk perubahan yang sudah terjadi, yang mungkin bukan bagian dari harapanmu. Karena terkadang, kita bukannya tidak bisa mewujudkan impian, melainkan hanya tidak mengerti apakah impian itu sesuatu yang kita butuhkan, atau sekedar kita dambakan.
Setelah sekian malam berlalu dengan perasaan gelisah, aku tidak tahu bahwa inilah hari yang kutunggu. Hari dimana aku akan duduk berdua bersama Kak Hamzah, seperti hari-hari di setengah tahun yang lalu. Dan semakin sempurna tanpa Ikrima di sisinya. Sosok yang entah kenapa bisa memonopoli Kak Hamzah sampai menyiratkan cukup banyak perubahan di dalam dirinya.
Ada banyak sekali yang ingin kukeluhkan, kutanyakan, dan bahkan kuutarakan. Namun entah kenapa lima menit pertama ini terasa canggung untuk aku bersikap childish sebagaimana diriku di hadapan Kak Hamzah setengah tahun lalu. Apakah ini karena aku sudah tumbuh dewasa? Atau hanya karena aku sudah kehilangan rasa percaya diri untuk mengatakan semuanya? Entahlah. Yang kutahu saat ini, duduk di hadapan Kak Hamzah seperti ini; sungguh sangat membuatku lupa caranya bernapas. Koperasi tetap ramai oleh mahasiswa, tapi mejaku dan Kak Hamzah seolah membuat kami terisolasi dalam hening.
“Ekhem...” Kak Hamzah mulai mengaduk-aduk minumannya, sambil memperbaiki posisi duduk.
“.....” Aku tersentak, namun masih tetap dalam tundukanku.
“Kamu banyak berubah ya ma sekarang” Kali ini aku menangkap senyum di wajahnya.
“Alhamdulillah kak” Jawabku yang juga tersenyum.
“Udah lama lho kita gak ngobrol berdua gini ma, biasanya kamu bawel banget tanya ini itu kalau lagi kayak gini. Kok tumben sekarang diem?” Kurasa Kak Hamzah sedang berusaha keras untuk mencairkan suasana.
“Hehehe, terlalu lama kita gak komunikasi ya kak, jadi terlalu banyak pertanyaan yang aku punya, bingung mau tanya yang mana dulu” Entah kenapa aku berbicara seperti ini.
“Coba tanya dulu dari yang paling kamu ingat aja sekarang ma” Kak Hamzah mulai sedikit mencondongkan badannya ke arahku, seolah penasaran dengan pertanyaanku.
Menanyakan hal yang paling kuingat saat ini? Yang benar saja?! Mana mungkin di situasi yang masih secanggung ini, aku langsung menanyakan soal hubungannya dengan Ikrima. Lagipula bukan hakku untuk bertanya tentang itu. Dan tentu saja pasti bukan pertanyaan seperti ini yang diharapkan oleh Kak Hamzah. Karena selama ini, semua hal yang kutanyakan menjadi menarik bagi Kak Hamzah sebab itu seputar ilmu agama. Jadi, rasanya tidak mungkin jika aku harus berpindah haluan untuk mempertanyakan hal sesensitif itu.
“Ohhh, ada kak! Aku sejujurnya masih penasaran soal perang Shiffin. Waktu itu kakak bilangkan Muawiyyah meminta hak qisos kepada Ali dengan dalil surat Al-Isra ayat tiga puluh tiga. Tapi sebenarnya kakak tahu gak sih kalau Ali itu berdalil dengan apa? Aku yakin Kak Hamzah gak mungkin menganggap Ali bersalah dalam hal inikan?!”
“Hehehe, benar ma. Waktu itu aku cuma mancing kalian supaya semakin rajin belajar dan mempelajari sejarah islam. Soalnya, di akhir zaman ini, kalau orang imannya tanggung-tanggung, wawasan agamanya terbatas, dan kemauan belajarnya minim; pasti bakal jadi orang munafik ma.”
“Masa sih kak?”
“Iya, di akhir zaman ini, golongan umat Rasulullah hanya akan terbagi menjadi tiga, yaitu islam kaffah, munafik, atau kafir”
“Na’udzubillahimindzalik!”
“Makanya, aku pengen banget kalian belajar lebih dalam tentang perang Shiffin dan perang Jamal, karena itulah salah satu tragedi perang saudara yang disebabkan oleh orang-orang munafik”
“Jadi, khawarij sama syiah itu munafik ya kak?”
“Wallahu’alam, bisa munafik, atau bahkan kafir. Yang jelas, mereka menyamarkan diri menjadi seorang muslim dan berbaur di antara umat muslim dengan misi untuk mengadudomba antar umat islam dan merusak persaudaraan”
Aku tertegun mendengar penjelasan Kak Hamzah. Ada sedikit luka respect yang perlahan pulih, seiring dengan untaian ilmu yang disampaikannya saat ini. Hampir saja aku membenci seseorang yang berniat baik kepadaku. Ternyata semua sikap buruk Kak Hamzah terhadap aku dan teman-teman selama ini hanyalah bentuk dari sandiwara. Bagian dari kurikulum pendidikan yang sengaja dirancangnya untuk mendewasakan wawasan kami terhadap agama ini.
Kata Kak Hamzah, sebenarnya saat itu Ali pun berdalil dengan hadits. Kak Hamzah juga menekankan bahwa hadits itu bukan hanya tentang apa yang Rasulullah ucapkan, melainkan juga apa yang beliau perbuat, dan apa yang beliau benarkan atau ingkari dari suatu perbuatan para sahabat.
“Kamu tahu Abdullah bin Ubay bin Shalul?” Tanya Kak Hamzah.
“Kalau gak salah, yang terlibat dalam fitnah Aisyah itu bukan sih kak?” Aku berusaha mengingat figur di balik nama itu.
“Benar ma, mashaallah! Kamu emang unik ya, bisa tahu banyak biografi orang-orang muslim dan kafir zaman dulu” Kak Hamzah menatapku lebih dalam.
“Hehe, terus terus gimana kak?” Aku kembali canggung.
“Iya, jadi seperti yang Rumaisha pernah sampaikan waktu kita bahas tentang perang Shiffin sambil makan pecel lele malam itu ma; fitnah terhadap Aisyah ini disebut dengan haditsul ifki. Nah, setelah diselidiki itu, ternyata biang keladi dari tercetusnya fitnah bahwa Aisyah berzinah dengan Shafwan bin Mu’aththal adalah Abdullah bin Ubay bin Shalul ini”
“Oke, terus kak?”