Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #29

Bom Waktu

Orang bilang, senja adalah momen teromantis untuk menyatakan perasaan. Ketika kejujuran bertemu dengan ketenangan. Dan perguliran matahari yang kemudian menjadi simbol dari manisnya kehangatan. Seperti riuh angin laut di bibir pantai. Aku berusaha tenang. Walau irama jantung semakin gusar dengan hening yang sengaja diciptakan Kak Hamzah. Akankah?

 

“Kata ayah saya; Aiza itu berarti “perkasa dan mulia”, Hamnah adalah ipar sekaligus sepupu Rasulullah yang tetap tegar walau pernah ditinggal mati tiga orang terpenting dalam hidupnya pada perang uhud, dan Shirin adalah muslimah pertama yang berhasil mendapatkan Penghargaan Perdamaian Nobel.”

 

Untuk beberapa detik, aku terpaku. Kak Hamzah baru saja mengulang ucapanku di satu tahun lalu. Sepenggal kalimat perkenalan yang kujabar tanpa permintaan. Kalimat yang membuat Kak Hamzah memiliki alasan untuk mengerjaiku di masa-masa orientasi dulu. Aku sedang mengingat semuanya.

 

“Kamu inget ma?” Kali ini Kak Hamzah menatapku lekat. Entah hanya bermaksud meledek, atau justru ingin memastikan sesuatu.

“Hahaha, inget dong. Kata-kata papa yang satu itu adalah kalimat terpanjang yang pernah aku hafal kak”

 

Kak Hamzah kembali memalingkan pandangannya. Kali ini dia menunduk. Kurasa aku baru saja menjawabnya dengan childish. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Aku ingin membacanya. Tapi lagi-lagi itu bukan keahlianku.

Satu persatu motor mulai meninggalkan area parkir. Aku bisa menatapnya dari bangku koperasi ini. Dan kupikir semua orang pun bisa menatap kami dari posisinya masing-masing. Sebab memang itulah tujuan Kak Hamzah memilih tempat ini. Agar kami punya cukup ruang untuk berbicara, tanpa harus terkesan hanya sedang berdua. Beberapa anak koperasi juga masih menyengaja untuk tidak beranjak pulang. Ada yang bertahan karena tugas rekapitulasi. Dan ada juga yang sekedar singgah untuk bercengkrama melepas penat.

 

“Ma, kamukan sekarang udah tahu soal khawarij...” Ujar Kak Hamzah setelah lebih dulu menghela napas panjang.

“He’em” Jawabku ragu, kali ini aku tidak sengaja menatap matanya.

“Apa kamu tahu kisah Imran bin Hithan dan pernikahannya?”

 

Mendengar kata “pernikahan”, sontak membuat tanganku bergerak random. Aku menimbulkan bunyi gaduh karena jatuhnya gelas dari bibir meja kami. Kak Hamzah lantas berusaha menenangkanku. Dia mengambil alih tanggung jawabku, dan segera berlutut untuk memungut kepingan kaca yang berserakan di sekitar kami.

Jujur saja, ini adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus mengendalikan pikiranku saat ini. Yang menggema dan terus-menerus mengusikku dari dalam sana adalah pertanyaan-pertanyaan polos; “nanti kamu jawab apa?” “kamu harus jawab gimana?” “kamu bakal terima dia?”. Seolah lamaran sudah sempat diutarakan.

 

“Hahaha, Asma asma, kamu kenapa?”

“Ehee, maaf kak, gak sengaja. Aku tadi kaget”

“Kaget? Jadi kamu udah tahu juga ya soal pernikahan fitnah itu?”

“Hah? Pernikahan fitnah? Maksudnya kak?”

 

Ternyata, Kak Hamzah sedang berusaha mengenalkanku pada figur lain di balik nama “Hamnah” yang selalu kubangga-banggakan sebagai doa terbaik dari orang tuaku. Kak Hamzah bilang, Imran bin Hithan adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Lalu ia jatuh cinta pada seorang gadis yang cantik dan cerdas. Hamnah. “Mungkin mirip kamu”. Ujar Kak Hamzah di sela-sela ceritanya.

Cinta itu mendapat banyak penolakan dari kalangan Imran bin Hithan. Saudara dan para kerabatnya bersikuku untuk mematahkan itikad baik Imran yang ingin segera meminang Hamnah. Mereka sangat mengingkari perasaan Imran atas Hamnah, walau Hamnah pun mencintainya. Padahal secara fisik, jelas Hamnah dan Imran memiliki paras yang jauh berbeda. Dimana itu merupakan satu bukti bahwa cinta Hamnah pun tulus kepada Imran.

Hamnah bahkan pernah berkata kepada Imran; “Kita akan sama-sama berada di surga, sebab kamu mendapat pahala bersyukur dengan menikahiku, dan aku mendapat pahala bersabar dari menikahimu”. Sebuah kalimat yang bisa terdengar sebagai ledekan. Tapi juga bisa terdengar sebagai buah ketakwaan. Tergantung dari sisi mana kita ingin memaknainya.

 

“Terus, kenapa cinta mereka ditentang kak?” Aku mulai tertarik dengan alur ceritanya.

Lihat selengkapnya