Mualaf (Perjalanan Ilmu)

Sastra Introvert
Chapter #30

Healing

Kupikir ikhlas itu semudah meyakini diri sendiri bahwa apa yang berlalu darimu tidak akan menjadi takdirmu, dan bahwa apa yang ditakdirkan untukmu tidak akan berlalu darimu. Persis seperti petuah Umar bin Khattab yang pernah kubaca di salah satu artikel oinline. Hufft.. Ternyata salah. Proses ikhlas itu sendiri tidak hanya cukup jika dibangun di atas teori yang logis. Harus ada cukup besar iman yang juga terpaten dalam hati. Karena bagi wanita, segala sesuatunya itu berpengaruh besar terhadap rasa. Dan sebagai makhluk termelankolis di dunia; wanita butuh cukup banyak waktu untuk menyelaraskan antara ilmu dan imannya. Terkhusus dalam konteks ‘kekecewaan’.

 

“Hamnaaaah...” Sapa seseorang yang terdengar berlarian dari balik punggungku.

“.....” Aku menoleh, dan gadis beruntung itu tampak semakin dekat.

“Maaf soal kemarin” Dia memelukku. Aku bisa mendengarkan getaran suaranya yang seolah sedang menahan air mata.

“Dan makasih nah...” Kali ini aku merasa air mata itu sudah berjatuhan di antara bahuku. Ikrima menangis, meminta maaf, dan berterima kasih untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan. Aku sungguh ingin menjadi wanita tegar yang baik, seperti sudut pandangnya. Tapi ternyata aku cukup lemah untuk memerankan figur itu.

“Hiks... hiks...” Lagi, entah untuk kali keberapa air mataku menetes sejak pertemuanku dengan Kak Hamzah kemarin sore.

“Barakallahu laka... wa bara’alaika... wa jama’abainakuma fii khoir ma...” Cuma itu lafadz yang terucap dariku. Sepenggal doa yang kiranya cukup mewakili usahaku untuk merelakan Kak Hamzah atasnya.

 

Setelah beberapa menit bertukar air mata di depan gedung perpustakaan, kami memutuskan untuk berbalik arah. Tentu saja ke koperasi. Sebab tempat itu memang sudah seperti rumah bagi Ikrima maupun Kak Hamzah. Terlebih karena merekalah penggagas dan pendiri HIMA tersebut.

Aku duduk di bangku dimana kemarin Kak Hamzah menatapku. Dan Ikrima pun duduk di posisi dimana kemarin aku melihat Kak Hamzah. Entah apakah hanya kebetulan, atau bagian dari pembiasaan. Yang jelas memang hanya meja ini yang kosong ketika kami datang.

 

“Kamu tahu kenapa dari dulu aku seambisius itu sama Kak Hamzah?” Ikrima mulai membuka dialog dengan tema yang tidak juga lekang dari sosoknya.

“Mungkin karena dia lubang persembunyian yang sempurna buat kamu” Aku menatapnya dengan senyuman. Kali ini tanganku tidak bergerak random. Dia hanya terus mengaduk segelas minuman dingin yang kupesan beberapa menit lalu. Mungkin ini gaya terbijak dari rasa gugupku.

“Benar! Dari awal lihat Kak Hamzah waktu orientasi. Dan gimana sikap dia ke kamu di atas panggung waktu itu. Aku bisa melihat sifatnya yang tegas, pemberani, idealis, hangat, dan bertanggung jawab. Aku bahkan jatuh cinta sama cara dia mencintai kamu. Santun.” Kulihat Ikrima hanyut di antara nanarnya sendiri. Seperti sedang membayangkan dengan cermat tentang segala detail kebaikan dalam diri suaminya itu.

“Jangan bilang dia cinta sama aku lagi ma. Dia udah jadi suami kamu. Ucapan kamu barusan bisa jadi fitnah untuk rumah tangga kalian” Aku berusaha bijak, walau sebenarnya mental healthku terasa sedikit goyah.

Lihat selengkapnya