Jika kesibukan bisa mengalihkan perhatian manusia dari banyak perkara yang tidak ingin dipikirkannya, maka apa lagi artinya meratap dalam hening yang lenggang?! Setidaknya itulah rencanaku mulai hari ini. Aku tidak akan lagi tunduk pada perasaanku sendiri. Karena bahkan bumi pun akan tetap berputar walau aku memilih untuk diam dan menyerah. Jadi, apa artinya kesedihan itu kalau bukan sebagai motivasi agar manusia dapat lebih bahagia dengan cara-cara yang sederhana? Iyakan?!
“Woooy” Suara Saiba memecah lamunanku. Muslimah atlit bela diri itu memang tidak pernah bersikap seanggun Fatimah Az-Zahra. Tapi bukankah karakter shabiyyah pun beragam? Ada juga yang setangguh Nusaibah binti Ka’ab. Si pemanah handal yang mengambil peran penting dalam perang uhud, tepat di saat banyak dari sahabat pria justru berhamburan meninggalkan Rasulullah, disebabkan oleh dahsyatnya serangan musuh kala itu.
“Dari kapan sampai? Hahaha” Aku bangkit menghampirinya. Ini adalah hari libur. Tapi Kak Rumaisha mengajak aku dan Saiba untuk menghadiri kuliah pra nikah yang rencananya akan berlangsung selama enambelas pertemuan ke depan.
“Dari tadi! Udah dipanggil-panggil lho padahal. Dasar Hamnah hamnaaah!” Biasa, kalau tidak mengomel, bukan Saiba namanya. Tapi aku suka dengan sikapnya yang ketus dan blak-blakkan. Setidaknya aku jadi tidak perlu bertanya-tanya tentang isi hatinya, setiap kali aku cemas jika ada sikapku yang mungkin melukainya. Hahaha, sesederhana itulah caraku untuk memaklumi si galak itu.
Sejujurnya, aku tidak terlalu tertarik pada tema kajian ini. Apalagi dibutuhkan komitmen selama enambelas kali pertemuan untuk bisa benar-benar maksimal mempelajari ilmu terkait pernikahan. Bagiku ini cukup berat, panjang, dan menjenuhkan. Terlebih aku belum punya niat untuk menikah dalam waktu dekat. Tentu saja. Mana bisa aku jatuh cinta di saat cintaku sendiri belum tahu bagaimana harus bangkit dari keterpurukannya.
“Justru belajar itu harus dilakukan sebelum praktik. Karena ilmu itu bekal untuk mempersiapkan diri. Gimana bisa kita tahu, kapan kita siap untuk menikah, kalau kita sendiri bahkan belum tahu ilmu yang menjadi indikator kesiapan itu? Gimana kita bisa tahu, apakah kita sudah memilih orang yang tepat, di saat kita sendiri belum paham tentang makna ‘tepat’ di dalam kehidupan rumah tangga?”
Begitulah kata Kak Rumaisha waktu mendesakku. Dan kurasa, dia sudah tahu tentang apa yang terjadi di antara aku, Kak Hamzah dan Ikrima. Biar kutebak; mungkin Kak Hamzah yang memberitahunya. Sebab, tidak lama sejak pertemuan terakhirku dengan Kak Hamzah sore itu, Kak Rumaisha semakin intens mengirimiku pesan. Baik untuk sekedar bersendagurau, ataupun berbagi info tentang jadwal kajian. Dan anehnya, semua poster kajian yang dikirim Kak Rumaisha tidak pernah jauh dari konteks ‘cinta’. Mulai dari “Singlelillah”, “Hijrah Cinta”, “Bahaya VMJ (Virus Merah Jambu)”, “Ikhlas Melepas”, sampai dengan Kuliah Pra-Proses-Pasca Menikah yang akhirnya akan kuhadiri hari ini.
“Mau ngapain?” Tanya Saiba sambil memutar sedikit badannya dari atas motor.
“Naiklah” Jawabku agak bingung.
“Helmnya mana woooy?!” Saiba kembali mengomel dengan logat jawanya yang medok. Kali ini dia memukul dahinya untuk menekankan rasa kesalnya padaku.
“Hahaha, oh iya di kamar. Aku ambil bentar”
“Ya Allah nah” Keluhnya dalam tawa yang lepas karena melihat kehebohanku.
Sudah kubilang, aku memang tidak seniat itu untuk datang. Sebagian besar hanya dorongan dari sisa-sisa iman yang mulai jenuh dengan caraku meratapi takdir selama hampir satu minggu terakhir. Apalagi Saiba sudah mau repot-repot menjemputku sepagi ini. Bahkan di saat matahari belum terbit dengan sempurna. Dan lagi, akan ada Kak Shafiyyah dan Kak Syifa juga di sana. Kak Rumaisha pun sedang menjemput Hafsah. Jadi setidaknya, ini akan menjadi reoni liqo yang nyaris sempurna. Andai saja Kak Laila dan Kak Muazah juga bisa hadir, mungkin akan jadi benar-benar sempurna.
Oh iya, sebentar lagi Kak Laila akan wisuda! Apa aku sudah pernah menyampaikannya? Bahkan Kak Muazah, kakakku yang setahun lalu masih menangis pilu karena harus menolak pengajuan ta’aruf dari seorang laki-laki yang dicintainya, sebentar lagi pun akan menikah. Tentu saja dengan cintanya itu. Jodoh memang unik. Tidak akan pergi hanya karena dilepas. Dan tidak akan hilang hanya karena ditunda.
“Alhamdulillah lamaran Mas Ibnu akhirnya diterima sama ayah ibuku. Tepat seperti janji mereka yang akan mengizinkan aku menikah jika aku sudah menyelesaikan KKN-ku. In shaa allah sebentar lagi kita akan nikah. Jazakumullahu khairon ya mbak, dek, atas support kalian selama ini. Maaf juga ya kalau aku mendadak buat grup SUNSHINE lagi. Anggap aja ini grup silaturahim kita, untuk saling bertukar kabar dan menguatkan.”
Sebuah pesan yang mengharu-biru dari Kak Muazah beberapa hari lalu. Bahkan di saat Allah mengambil satu hal yang cukup berharga dariku; Allah tidak pernah luput untuk menggantinya dengan yang lebih baik. Kak Hamzah pergi. Tapi Sunshine-ku kembali. Kami terintegrasi dalam satu grup lagi. Dan hebatnya; rasa canggung yang dulu membentuk gap di antara kami pun sudah luntur. Sekarang tidak ada lagi hal rancu di antara cara kami memandang tarbiyyah, muhammadiyah, NU, atau apapun itu. Dan kurasa, sedikit banyak Kak Hamzah sudah cukup berperan untuk mendewasakan sudut pandang kami terhadap ikhtilaf.
***