Waktu sungguh berputar lebih cepat dari segala persiapan. Seolah kejadian demi kejadian sudah tidak sabar untuk mendidik para penghuni bumi ini. Menggiring setiap keimanan pada praktik konkret yang lebih dari sekedar keyakinan. Dan mau tidak mau, hanya akan ada tiga golongan di semua akhir cerita manusia; kaffah, munafik, atau kafir.
Ini adalah bulan ke delepan sejak terakhir kali aku membagikan perjuangan move on-ku kepada kalian. Cukup lama bukan? Tapi tidak juga. Karena setiap hari akan selalu ada fenomena baru yang bahkan membuat kita jadi tidak punya waktu untuk sekedar menghitung pergantian hari. Coba tebak, apa saja kejadian nyata yang telah kulompati paksa dari halaman sebelumnya? Benar! Aku juga yakin kalian akan penasaran tentang itu.
Tentang pernikahan Kak Hamzah dan Ikrima, aku datang kok. Aku sungguh datang tanpa meneteskan air mata sedikit pun. Aku juga datang dengan hati yang jauh lebih lapang dari sebelumnya. Entah bagaimana bisa aku mengendalikan perasaanku sedemikian cepat. Semua hanya terasa begitu natural. Begitu saja terkikis tanpa perlu adanya pemaksaan atas dasar benci ataupun putus asa. Mungkin ilmu-ilmu yang kudapat selama mengikuti kuliah pra-proses-pasca menikah telah cukup banyak mengubah sudut pandangku tentang cinta.
Sudahlah. Tidak perlu diungkit kembali. Sekarang aku lebih nyaman untuk menjaga perasaan Ikrima dengan tidak membahas apapun lagi terkait aku dan Kak Hamzah. Jadi, bagaimana kalau soal wisuda Kak Laila? Hebat! Itu baru momen yang benar-benar menguras air mata. Di antara anggota Sunshine yang lainnya, hanya aku yang terus-menerus menangis. Sesenggukan seperti bayi yang baru saja terbangun dari tidurnya. Aku terus menempel pada Kak Laila karena sesaknya rasa kehilangan. Rasa yang entah kenapa tidak bisa kuredam di sepanjang acara wisudanya waktu itu. Kekanak-kanakan memang. Bahkan trio kocak ikut tertawa melihat betapa rapuhnya aku di hari itu. Tapi itulah perasaan natural yang ingin kuekspresikan.
“Hati-hati nah” Ujar Saiba yang sibuk membantuku menaiki pelaminan berdekorasi minimalis ini. Gaun yang kukenakan memang cukup riskan untuk membuatku tersandung. Jadi wajar jika Saiba bersikap cukup telaten, layaknya bodyguard.
“Lho? Zaidnya mana?” Bisikku pada Hafsah yang juga meniringi tidak jauh di belakangku.
“Turun diaaa, tuh lagi ngobrol sama Faris, Fatih, Anas, Kak Hamzah” Jawab Hafsah yang dengan sigapnya mengamati pemandangan dari atas pelaminan.
“Hamnaaaah, cantik banget kamu!” Bisik Ikrima dari sudut kanan pelaminan. Aku tidak begitu mendengar suaranya karena dia berbicara dengan pelan. Tapi gerak bibirnya kurang lebih terlihat seperti kalimat itu. Ditambah dengan senyum yang mengembang di antara dua jempol tangannya yang terangkat. Kurasa aku tidak salah dengar. Dan kami bertukar senyum untuk sesaat. Aku juga sempat melambaikan tangan balik ke arahnya. Tenang saja, kami sudah resmi berteman sekarang. Tidak ada lagi istilah “pura-pura fine” di antara keakraban aku dan Ikrima.
Sebentar, sebelum menceritakan tentang apa yang terjadi di hari ini. Aku akan berbagi satu kisah yang lumayan hebat dalam hidupku. Kisah yang kurang lebih sudah semakin menyempurnakan perjalanan ilmuku.
Waktu itu, sekitar enam bulan yang lalu. Sebuah berita tentang terorisme mendadak booming. Seperti skandal besar yang terencana, beberapa aksi terasa cukup tertib untuk dianggap ‘kebetulan’. Aku sempat nyaris ketinggalan info karena tidak ada televisi di kamar kosku. Tapi papa menelepon di penghujung sore, waktu itu. Suaranya terdengar panik. Ada beberapa riuh orang lain yang mungkin berlarian di sekitar papa.
“Kak, hati-hati. Jangan pergi ke mall dulu. Jangan ikut-ikut kajian dulu. Banyak teroris sekarang. Korban pencucian otak dengan dalih jihad. Barusan ada bom bunuh diri di jalan dekat kantor papa. Hindarin orang bercadar, berjenggot, atau celana cingkrang dulu kak. Itu ciri-ciri pelakunya di sini. Dua udah ketangkep sebelum ngledakin diri. Polisi masih mencar. Ada baku tembak juga”
Suara papa terdengar tidak stabil waktu itu. Kurasa papa menyampaikan semuanya sambil berlari di antara kerumunan. Aku cukup bisa membayangkan sepanik apa keadaan di sana saat itu. Dan sejak papa mengakhiri panggilannya, aku terus-menerus memantau berita seputar aksi teroris itu dari berbagai macam platform online dalam gadget-ku. Polanya tidak begitu terbaca. Mungkin karena aku bukan detektif. Terjadi di beberapa daerah, baik dalam maupun luar pulau jawa. Hari dan jam kejadiannya juga beragam. Jika Sherlock Holmes sungguh nyata dan berada di Indonesia; kurasa dia akan mampu menemukan dalang sesungguhnya.
Dalang sesungguhnya? Benar. Kugunakan kata “sesungguhnya” karena aku cukup yakin bahwa gerakan yang mengatas namakan ajaran islam ini pasti dikendalikan oleh beberapa orang yang cukup memiliki power dan kepentingan atas tatanan hidup manusia. Aku tidak ingin berspekulasi lebih jauh. Hipotesaku sangat lemah jika hanya berlandaskan insting dan satu pemahaman yang utuh tentang fenomena khawarij. Bagaimana pun juga, korban sebenarnya atas semua aksi terorisme ini bukanlah non muslim. Mereka hanya kambing hitam. Sebab korban sesungguhnya justru umat muslim.
Memang, rasanya cukup egois untuk merasa ‘paling didzolimi’ dalam situasi seperti itu. Jujur saja, itu adalah fenomena yang lumayan bersejarah untuk mentalku. Ketika kebenaran tidak memiliki ruang untuk disampaikan. Dan kekeliruan terus-menerus mengudara atas nama ‘waspada’. Kalau saat itu kalian sudah berpakaian sebagaimana aku dan teman-teman HIMA Islam berpakaian; kurasa kalian akan mengerti makna dari ‘korban’ yang kumaksud.
Selama aksi terorisme itu berlangsung di berbagai waktu dan tempat; aku merasa sesak. Cukup sesak untuk hanya memungkiri berbagai berita yang terasa sengaja melekatkan simbol-simbol keislaman dalam diri setiap pelakunya. Tidak masalah jika hanya diteriaki ‘teroris’ dari lantai dua gedung, oleh orang-orang yang bahkan kukenal baik sebelumnya. Gazalah bahkan diperlakukan lebih buruk dariku. Jauh lebih buruk dari teman-teman akhwat HIMA Islam yang lain karena cadar yang melekat di wajahnya.
Aku menyaksikan hampir dari semua pembullyan yang menimpanya di kampus. Entah bagaimana di perjalanan pulangnya selepas kuliah. Mungkin lebih mengerikan dari sekedar apa yang kulihat. Tidak habis pikir. Bagaimana mungkin teman sesama muslim bisa saling berprasangka buruk dengan sedemikian hebat. Mereka bahkan memboikot Gazalah dari beberapa area kampus. Beberapa dosen sampai harus terpaksa tidak memperbolehkan Gazalah masuk ke dalam kelas selama proses pembelajaran.
Itu karena teman-teman sekelas Gazalah menuntut aksi untuk keluar kelas jika Gazalah diperbolehkan duduk di ruangan bersama mereka. Akibatnya, untuk beberapa mata pelajaran, Gazalah terpaksa harus berdiri di samping jendela kelas hanya demi tidak tertinggal pelajaran. Ia berdiri selama jumlah SKS dari mata pelajaran itu. Dan aku hanya bisa menangis melihat semua ketidakadilan yang menimpanya.
Kalau memasuki koperasi, seseorang selalu mendorong kasar Gazalah agar enyah dari lingkungan mereka. Beberapa mahasiswa pria bahkan ada yang mengerjainya dengan beragam cara. Mulai dari mengempeskan ban motor Gazalah. Menarik paksa cadarnya. Sampai dengan menyiramnya dengan air minum. Waktu itu, Gazalah sungguh menjadi bulan-bulanan. Ia dipaksa untuk menanggung dosa atas suatu kesalahan yang tidak diperbuatnya.
Tentu saja anggota HIMA Islam ada untuknya. Kami bersyukur karena merasa telah diberi tugas oleh Allah untuk menjadi malaikat bagi Gazalah. Tidak jarang kami jadi tempat salah sasaran bagi mereka yang ingin berbuat jahat kepada Gazalah. Aku pernah tidak sengaja tertampar saat hendak menarik Gazalah dari kerumunan. Fatih, Faris, Anas dan Zaid juga pernah sampai nyaris berkelahi dengan massa yang sedang memaki-maki Gazalah. Alhamdulillah Kak Hamzah datang untuk melerai. Dia menyerukan nama Rasulullah sebagaimana yang dilakukan Fahri dalam novel “Ayat-Ayat Cinta”. Berkat itu Fatih dan trio kocak pun beristighfar dan mengurungkan niatnya untuk beradu pukul.
Bisa dibilang, itu adalah momen yang cukup genting dan kritis untuk ukhuwah islamiyah secara global. Inilah makna ‘korban sebenarnya’ yang tadi kumaksud. Entah sampai kapan efeknya terjadi. Yang jelas, aksi terorisme ini telah banyak memupuk permusuhan di dalam umat muslim itu sendiri.
Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan dosen-dosen yang dengan terpaksa membiarkan Gazalah belajar di luar ruangan. Aku juga tidak bisa menyalahkan teman-teman muslimku yang lain atas cara mereka memperlakukan kami, terutama Gazalah. Sebab nyatanya, memang tidak semua umat muslim menjadikan wawasan agama sebagai bagian dari prioritas pengetahuan dasar mereka. Bukankah itu juga yang sempat kami alami saat Kak Hamzah berpura-pura memerankan watak khawarij? Kami jadi saling curiga dan berprasangka buruk terhadap satu sama lain. Kami bahkan sampai leave grup liqo hanya karena takut dengan ajaran tarbiyyah yang diterapkan Kak Laila atas kami.
Terpecah belah karena kebodohan. Itulah kuncinya. Siapapun itu, tapi aku yakin bahwa si dalang ini pastilah seseorang yang ingin memecah belah ukhuwah islamiyyah dengan memanfaatkan stigma yang keliru terhadap ajaran islam. Walau target utamanya hanyalah orang-orang yang awam terhadap agamanya sendiri; tapi tentu saja pengaruhnya jauh lebih besar dari sekedar kata ‘hanya’. Sebab bukankah Rasulullah pernah bernubuah, bahwa di akhir zaman nanti umat muslim itu hanya akan seperti buih di lautan. Banyak, tapi kosong.
Ada yang islamnya hanya sebatas keturunan. Atau juga sebatas kewajiban. Hanya sebatas sholat lima waktu dan puasa ramadhan. Sedangkan aspek keimanan yang lainnya tidak pernah dipelajari. Hingga pada akhirnya, buih-buih inilah yang justru menjadi bumerang bagi umat muslim itu sendiri. Persis sebagaimana khawarij memainkan perannya di sepanjang sejarah kejahatan mereka terhadap peradaban islam.
Andai saja setiap muslim dikenalkan pada fenomena-fenomena kejam seperti itu lebih dulu. Mungkin feedback yang akan muncul dari kejadian aksi terorisme itu tidak akan sampai membahayakan antar sesama umat muslim. Tapi balik lagi, Allah selalu menitipkan hikmah-Nya di setiap kejadian. Jadi yang kupikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya memulihkan keadaan. Atau minimal, bagaimana caranya untuk menyuarakan kebenaran. Menjernihkan sudut pandang manusia terhadap ajaran islam, dengan memanfaatkan rasa empati sebagai fitrah dari kehidupan.