Malam itu, Zainab terbangun. Ia melihat jam menunjukan waktu dini hari pukul 01.05 WIB. Tenggorokannya terasa kering tak berair. Ia duduk, memandang sejenak pada suaminya yang tertidur pulas. Sebuah Al-Quran berwarna coklat dengan kaligrafi berwarna kuning emas terlihat di atas meja kecil yang berada di samping suaminya terlelap. Tiba-tiba ada yang menendang perutnya teramat kuat. “Arghhh!” jeritnya. Ia menutup mulut dengan tangan kanannya rapat-rapat. Takut kalau-kalau membangunkan suaminya yang sedang nyaman terapung di alam mimpi.
Sebelum tidur tadi tepatnya pada jam 21.00, ketika sedang berbaring di atas tempat tidur suaminya mendatanginya. Dengan lembut suaminya memberitahu, “Dik, sekarang sudah juz 30, aku bacakan ya.”
Umar, suaminya, membacakan Al-Quran di sampingnya berbaring. Suara Umar menenangkan hati dan pikirannya. Sambil mendengarkan suaminya melantunkan Al-Quran dengan merdu, ia mengelus perutnya sendiri. Ia menyampaikan sesuatu pada bayinya lewat kata hatinya, “Anakku, dengarkan suara lantunan merdu ayahmu baca Quran. Anakku, kelak jadilah seperti ayahmu, manusia pecinta Al-Quran.”
Tangan kirinya bergerak-gerak sendiri. “Ada apa istriku?” tanya Umar menyadari itu.
“Tidak ada, lanjutkanlah kembali, Sayang.”
Umar melanjutkan Surat An Nazi’at yang ia hentikan sejenak. Suara merdunya terdengar kembali. Istrinya itu merasakan ketenangan yang luar biasa. Apalagi dengan memandang wajah suami, rasa terpantiklah rasa kebahagiaan memandang wajah seorang lelaki yang selalu menjaga wudu. Selama suaminya membaca Al Quran, pandangannya tidak berpaling sama sekali dari wajah suaminya.
Umar mulai memelankan suaranya ketika istrinya terlelap. Ia sudah sampai pada Surat Al-Kautsar, sebentar lagi akan khatam Al-Quran untuk yang ke sembilan kali di bulan ke sembilan kehamilan sang Istri. Ia selesai membaca surat An-Nas. Hatinya bersiap membaca doa khatam Al-Quran. Sebelumnya, ia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak, mencoba lebih menghadirkan Tuhan dalam diri. Pelan-pelan, ia mulai memanjatkan sebuah munajat pada Allah, “Ya Allah, jadikanlah putra kami seorang yang sholeh. Rabilaa tadzarnii fardawaanta khoirul waritsin ....”
“Bismillahirrahmanirrahim ....” Selanjutnya, ia membaca doa khatam Al-Quran. Semakin lama nada suaranya semakin parau melantunkan lafad-lafad doa. Maka, air matanya pun tumpah menggelanggang di pipi gagahnya. Di dalam hati, ia mendoakan istrinya yang sebentar lagi akan melahirkan. Harapannya semua akan baik-baik saja. Meski terisak, suaranya terdengar pelan, sangat pelan.
Tetapi, perempuan manis yang tidur di sampingnya adalah Zainab, seorang perempuan yang hatinya telah bertaut satu padanya. Zainab pun terbangun oleh tangis itu. Namun agaknya, bukan suara tangis sebenarnya yang membangunkannya, tetapi suara ketulusan dari hati suaminya yang membuatnya terbangun. Ketika melek, ia melihat suaminya sedang mengadah tangan sambil membaca doa khatam Al-Quran, terlihat air mata suaminya yang berlinang.
“Walhamdulillahirabbilalamiin,” ucap suaminya saat menutup doa.
“Mas!” katanya pada Umar dengan memegang tangannya.
“Iya Dik.”
“Dudukkan aku.”
Umar menarik tangan kanan Zainab dengan tangan kanannya. Dan dengan tangan kirinya, ia mendorong punggung Zainab ke depan agar perempuan berbaju batik itu duduk. “Maaf Mas aku tertidur,” kata Zainab dengan menunduk.
Dipeganglah tangan kiri Zainab dengan tangan kanan seraya berkata, “Zainab, tidak apa-apa.”
Butir-butir air mata itu jatuh, tiba-tiba Zainab terisak tangis. Melihat itu, ia segera duduk lebih dekat di samping Zainab. Dirinya tak bisa memeluknya dari depan, untuk itulah ia berada di arah samping. Kemudian merangkul lembut Zainab. “Kenapa?” tanyanya sambil mengelus kepala Zainab dengan tangan kirinya dengan penuh kelembutan.
“Mas, terima kasih atas segalanya yang kau berikan padaku, aku selalu merepotkanmu. Mas aku bahagia bersamamu, selama aku mengandung anak kita, kau selalu membacakan Quran di sampingku ketika aku istirahat. Kau tak pernah lelah memperhatikanku.”