“Dik, besok teman-temanku akan datang,” kata Umar sambil mengunyah makan malam.
“Wah, bagus Mas. Besok aku akan buat kue untuk suguhan.”
Usai makan malam, ia dibuatkan kopi oleh Zainab. Harum seduhan kopi hitam kental telah tercium sampai ke kamar. Ia menunggunya di kamar sambil menjaga bayinya yang baru saja terbangun. Beberapa menit kemudian, Zainab datang dengan membawa secangkir kopi, meletakannya di meja kecil yang berada di samping tempat tidur.
“Anakku, sudah bangun,” ucap Zainab sambil menciumi bayinya.
Tak lama kemudian bayinya menangis. Zainab segera menggendong. Umar tidak tahu mengapa tiba-tiba bayinya menangis setelah diciumi oleh Zainab. Apa yang salah dengan ciuman Zainab, pikirnya. Zainab memberi ASI kemudian. Bayi mungil itu sangat haus dan lapar tampaknya. Oh, jadi ini alasan sang bayi menangis, batinnya. Zainab begitu mengerti akan bahasa bayinya, melihat hal itu Umar jadi ingat sebuah hadis, seorang ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Maka, hanya seorang yang ibu lebih mengerti akan bahasa seorang bayi.
Malam ini menjelang hari ketujuh dari kelahiran si buah hati. Umar dan Zainab duduk berdua. Secangkir kopi hangat di meja berkurang seperempat volume. Zainab sedang menggendong bayinya di pangkuan. Selama beberapa hari belakangan, Umar dan Zainab selalu mendiskusikan tentang nama bayi mereka. Dan pada malam ini, Zainab sudah mengambil keputusan. “Mas, kan, aku juga ikut menamai, aku beri dia nama Abdurrahman, nama yang paling dicintai Allah, Mas,” ujarnya.
“Baiklah, tentu aku setuju, untuk nama penyempurnanya aku beri dia nama Azmi Hail, panggilannya Azmi atau Hail. Jika bisa, tak dipisah nama panggilan itu supaya lebih mengena pada arti.”
“Azmi Hail, aku baru dengar nama itu. Azmi Hail, hem bagus sekali nama itu.”
“Keteguhan hati, artinya.”
“Keteguhan hati. Oh betapa indah maknanya. Semoga anak kita dapat mendapat faedah dari namanya. Jadi, namanya Azmi Hail Abdurrahman atau Abdurrahman Azmi Hail?”
“Abdurrahman Azmi Hail!” Umar bersemangat.
“Azmi Hail ...,” panggil Zainab seraya menatap bayi laki-lakinya. Ibu muda itu berkata pada bayinya, “Azmi Hail, nama kamu Azmi Hail, Nak.”
Umar melihat Zainab berkomunikasi dengan si bayi, tentu saja tak ada jawaban dari si bayi. Tetapi, yang ia lihat istrinya tampak mendapat jawaban dari si bayi. Zainab berkata padanya, “Mas bayi kita suka dengan nama itu.” Zainab memanggil anaknya kembali dengan nama itu, “Azmi Hail ... anakku!”
Umar pun tersenyum melihat Zainab yang tampak berbicara dengan si bayi. Ibu adalah seorang guru pertama bagi seorang anak, hanya seorang ibu yang dapat mengerti apa yang dikatakan si bayi yang hanya dapat menangis dan tidak dapat berbicara sepatah kata pun. “Oh ibu, dulu engkau seperti ini,” batinnya tiba-tiba. Sejenak, bayangannya melayang jauh ke sebuah pulau yang dijuluki Tanah Garam, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang ibu yang kini jauh darinya. Jauh badan dan tampak pula telah jauh hati.
“Mas, sudah dibelikan kambingnya?” tanyanya pada Umar yang tiba-tiba melamun.
“Untuk masalah itu kamu tenang saja Dik, aku sudah memesankannya, sudah disembelih tadi sore, dua ekor kambing jantan paling bagus.”
“Mas, mahal ya?” Wajah Zainab khawatir.
“Iya sepertinya, tetapi lebih mahal anak kita, dia tiada ternilai harganya bagi kita. Aqiqah anak kita itu lebih penting dari keperluan-keperluan kita sekarang.” Umar memberi senyum.