Waktu terus berlalu. Detik berganti menit. Siang berganti dengan malam. Dua bohlam yang kadang panas kadang teduh, bersembunyi di balik awan, silih berganti menghiasi langit yang biru dan langit abu-abu. Hari berganti dengan pekan. Robek. Bergantilah bulan. Hujan dieleminasi oleh kemarau dan sebaliknya.
Dari hari ke hari, pertumbuhan Azmi Hail terlihat. Mulai dari tidur miring sampai tengkurap. Dari tengkurap sampai berjalan merangkak. Dari merangkak sampai berjalan. Jatuh bangun lagi. Ayah dan ibunya selalu mengajarinya berjalan setiap hari. Senantiasa menyemangati dan berusaha membuatnya menjadi seorang anak yang dikenal periang, selalu tersenyum dan tertawa.
Telah dua tahun usia putra mereka kini, jika mengikuti penanggalan Hijriah. Ayahnya tadi pagi telah memperingati kelahirannya dengan membagikan makanan pada tetangga atau selametan. Hari ini adalah Maulid Nabi Muhammad.
Malam harinya Umar menghampiri Zainab di kamar. Azmi Hail sudah tertidur seusai disusui Zainab. Zainab sendiri sedang tiduran di samping sang bayi, memandangi bayi montok itu tanpa pernah bosan. Umar duduk di samping Zainab. Istrinya tak kunjung beranjak duduk. Masih betah berlama-lama memandangi malaikat kecil. Tetapi, Zainab perempuan yang peka, ia pun duduk beberapa saat kemudian. Mata dan pandangannya tertuju ke arah suaminya. Saat itulah ia sadar kalau dari tadi suaminya sedang terpekur, entah merenungi apa.
Ia akhirnya menebak-nebak dalam hati, apa yang sedang dipikirkan suaminya? Ia ingat beberapa hari yang lalu kalau suaminya berkata padanya bahwa ia ingin ke rumah orangtuanya, memperlihatkan wajah anaknya pada ibu bapak.
“Mas, kapan kita ke Madura?” tanyanya.
Umar menoleh, dilihatnya senyuman kecil itu. Kekhawatirannya pun terpudarkan walau hanya secuil. Sebenarnya, yang sedang ia renungi saat itu adalah perasaan istri, apakah pergi ke Madura akan membuat istrinya resah? Tetapi, sepertinya tidak. Istrinya sepertinya menerima dan siap. “Kalau kau siap, besok kita berangkat,” jawabnya pelan.
“Selama Mas siap, aku juga siap Mas.” Zainab meyakinkan.
Umar tersenyum bahagia kepada Zainab yang begitu pengertian. Zainab sepenuhnya menyerahkan haluan bahtera rumah tangga padanya. “Kalau begitu, malam ini kita persiapan, ingat jangan berisik nanti Hail bangun,” ujarnya.
“Iya Mas, tenang aja.”
“Aku mau mengambil tas dulu, kamu siapkan pakaian-pakaiannya.”
“Iya Mas, ambillah.”