Mereka telah sampai di rumah tujuan, rumah seorang tokoh masyarakat, Bindoro Muhammad. Umar dan Zainab duduk di ruang tamu. Mereka berhadapan dengan Bindoro Muhammad, ayah Umar. Dalam keluarga itu, Umar adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ia anak tengah-tengah. Kedua kakaknya sudah menikah dan semuanya anak lelaki. Lalu kedua adiknya semuanya perempuan, yang satu sudah lulus SMA, sudah dipertalikan jodoh mulai balita, tetapi menunggu hafalan Al-Qurannya rampung. Dan yang paling kecil masih duduk di kelas satu SMA, sudah dipertalikan jodoh pula sejak baru bisa berjalan. Pertalian jodoh semacam itu sudah lumrah di sana.
Kedua adiknya ikut menyambut mereka bertiga di ruang tamu. Dua gadis itu senang atas kedatangannya. Sudah tiga tahun mereka tidak bertemu dengan saudaranya yang seolah menghilang. Sekembali dari pergi jauh, datang dengan membawa seorang istri yang berperangai halus dan telah dikaruniai anak yang tampan.
“Kak siapa namanya?” tanya Hafsah, adik Umar yang paling kecil.
“Azmi Hail namanya,” jawab Umar.
“Azmi Hel,” ucap Hafsah dengan bunyi Hail yang menjadi Hel—logat Madura cenderung mengucapkan huruf vokal a menjadi e.
“Adikku ...,” sambung Halimah, Kakak Hafsah.
“Hmmm, mirip Kak Umar,” timpal Hafsah.
Halimah dan Hafsah duduk di lantai untuk menemani Azmi Hail yang duduk di lantai dekat kaki Zainab. Umar melihat Zainab tampak senang atas sambutan kehadiran kedua adiknya. Ia melihat rona riang di wajah istrinya yang memandang keramahan kedua adiknya.
Tawa Zainab berganti dengan senyuman. Senyum itu ia tunjukkan sebab matanya melihat seorang perempuan datang. Rasa hormat yang dilukiskan lewat bibir itu ditujukan kepada perempuan yang tak lain adalah ibunya Umar. Perempuan itu dihampiri oleh Umar disusul Zainab, untuk disungkemi. Saat Umar dan Zainab duduk kembali, perempuan itu pergi entah ke mana.
Malam hari pun tiba. Umar sedang membuatkan teh hangat untuk istrinya. Ketika salat isya baru saja selesai. Sementara itu, Azmi Hail sedang dibawa oleh Hafsah dan Halimah ke luar rumah untuk diajak bermain, menikmati langit Madura saat malam di tengah udara hangat tanah Madura. Zainab tidak tahu malam itu suaminya berada di mana dan sedang apa. Ia sendiri malas untuk keluar dari kamar. Ingin menyendiri di dalamnya.
Umar berada di dapur, sedang membuat minuman. Sambil mengaduk gula dengan sendok alumunium, ia memikirkan kejadian tadi siang. Tampaklah kembali wajah ibunya yang kecut. Padahal tiga tahun tak jumpa, begitu jumpa seperti getir terasa. Sikap ibunya acuh atas kedatangan istrinya dan bahkan kepada putra kecilnya yang tak berdosa. Terlintas kembali perkataan ibunya tiga tahun lalu, “Sampai kapanpun, aku tak akan merestui perkawinanmu!”
Seketika itu, ia menghentikan tangannya yang mengaduk air teh. Merenunglah ia. Sejenak ia mengusap wajahnya. Kejadian tadi pagi adalah kejadian yang selama ini ia takutkan dan ia khawatirkan: sikap ibunya yang tak kunjung berubah. Ia takut istrinya akan terluka. Ia sungguh takut. Telah lama hatinya menggigil merasakan kenyataan pahit ini.
Lemaslah ia. Tetapi, dua gelas teh hangat telah dibuatnya. Mau tak mau harus ia bawa ke kamar. Dengan sebuah baki, ia bawa dua minuman itu. Sesampainya di depan kamar ia melihat pintu kamar terbuka sedikit. Niat hati hendak menghibur istri, ia malah mendapati suatu hal. Dari celah pintu yang terbuka itu, ia bisa mengintip seorang perempuan duduk menghadap jendela yang terbuka. Ia bisa melihat separuh wajah perempuan itu, tampaklah perempuan itu sedang melamun, wajah perempuan itu sepi dari kesan ceria.
Ia bersandar di tembok, mengurungkan niatnya sejenak, memikirkan perempuan yang duduk sambil merenung itu. Terpikir olehnya bahwa perenungan itu pasti akibat sikap ibunya seharian ini. Terlukakah engkau kekasihku? Lirihnya.
Melihat dua gelas teh itu, ia pun memutuskan untuk kembali mengantar minuman. Seketika suara pintu terbuka, menolehlah Zainab, dan melihatnya yang sedang membawa minuman. Mengetahui suaminya datang, Zainab memasang senyuman di wajah, seolah-olah tak ada beban. “Dik, kok melamun kamu? Ayo ini kita minum bareng,” ujar suaminya seraya duduk di sampingnya.
“Iya Mas, ndak apa-apa kok Mas.”
Keduanya kemudian bercengkrama. Sudah hilang kemuraman di wajahnya. Hilang ketika dipandang suami. Ia tak ingin membuat lelaki itu merasa cemas. Tetapi, Umar sebenarnya telah banyak tahu. Sudah berulang kali ia merasakan bahwa selama ini istrinya berusaha menutup-nutupi warna hati.
Di tengah-tengah renyahnya percakapan malam itu, ia tiba-tiba berkata, “Dik, maafkan aku.”