Muara Cinta di Titik Semula

Faiz el Faza
Chapter #7

Pulau yang Semakin Menjauh

“Iya Kyai Alhamdulillah, putra saya sehat.”

“Istrimu?”

“Istri saya juga sehat Kyai, Alhamdulillah.”

Umar dan Kiai Rasyid bercengkrama di ndalem, sebutan rumah dalam bahasa Jawa. Letak ndalem beliau berada di dalam pesantren itu sendiri. Di pesantren itulah Umar menimba ilmu agama. Pesantren itu bernama Al-Falah. Di pesantren itu, ia menghabiskan masa remajanya. Mulai dari kelas tiga MI, ia sudah berada di sana. Keempat saudaranya belajar di pesantren sejak SMP. Hanya ia, anak ketiga dari lima bersaudara, yang mondok mulai kelas tiga MI. Ia sendiri yang meminta kepada ayahnya ketika itu.

Pada pagi yang cerah itu ia sedang bersilaturrahmi atau sowan ke rumah guru besarnya. Ini sudah hari keempat ia berada di tanah kelahirannya. Tak lengkap rasanya menginjakkan kaki di tanah kelahiran jika tak berkunjung ke rumah orangtua yang mengasuh ruh. Ketika Kiai Rasyid menanyakan perihal istrinya, tiba-tiba ia teringat akan istrinya.

Saat berpamit pada Zainab pagi ini, ia melihat keceriaan di wajahnya.

“Mas, mau berangkat ya, cium dulu dong!” Itulah canda sang istri padanya tadi pagi sebelum berangkat. Ia sempat merasa aneh sebab candaan itu begitu jarang dilakukan oleh Zainab. Ia pun mengabulkan permintaan itu. Setelah ia menciumnya, Zainab berkata padanya, “Mas, aku mencintaimu.”

“Aku juga.”

Lalu Zainab memintanya untuk mencium Azmi Hail.

“Umar!” panggil Kiai Rasyid yang melihatnya melamun.

Mereka pun bercengkrama kembali. Kini, membicarakan tentang perkembangan pesantren Al-Falah. Kiai Rasyid yang sudah sepuh masih terlihat gagah ketika bertutur bahkan saat berjalan. Ia senang melihat gurunya itu sehat dan bugar meski usia sudah lebih dari 80 tahun.

Lama waktu bergulir. Ia dan Kiai Rasyid duduk berdua dengan keadaan masih bercengkrama. Namun tak ada angin dan hujan, tiba-tiba Kiai Rasyid terdiam, memandang ke arah depan dengan tatapan penuh kekosongan namun tajam. Ia sadar akan itu.

“Umar, kau pulanglah!” kata Kiai Rasyid dengan tiba-tiba seraya menggosok-gosokan kayu Arok di ke giginya.

Ia tidak bertanya-tanya lagi pada beliau walau dalam benaknya ada pertanyaan yang seketika bermunculan. Ia mencium tangan kiainya dan bergegas melangkah keluar dari ndalem. Seketika menginjakkan kaki di halaman ndalem, seketika itu pula kekhawatiran berdatangan dalam perasaan. Kiai Rasyid adalah seorang kiai yang makrifat, mempunyai wasangka yang selalu mendekati kebenaran. Mendengar beliau menyuruhnya untuk pulang, seketika firasatnya tertuju pada Zainab.

Lihat selengkapnya