Ia duduk di sebuah batu. Sambil mendengarkan suara deburan ombak, ia membuka surat yang menyayat itu ....
Assalamualaikum
Mas Umar, cahaya hidupku
Sebelumnya maafkan aku Mas telah meninggalkanmu tanpa pamit. Tetapi, aku telah membuat sepucuk surat ini buatmu. Sebuah surat yang kutulis dengan linangan air mata. Berat jariku yang mengapit pena ini untuk menorehkan sebuah tulisan dalam surat ini karena aku selalu terbayang akan wajahmu, wajah yang bak cahaya terang yang sinarnya menerobos sampai ke dalam hatiku yang terdalam.
Masih terasa baru kemarin pertemuan kita, pertemuan seorang guru dengan murid di sebuah pengajian. Pertama kali aku memandangmu, aku melihat sosok lelaki shalih dalam dirimu. Aku terkesan dalam pandangan pertama.
Perlahan kita saling mengenal. Aku ceritakan padamu tentang hidupku. Kau pun juga berjalan ke dalam kehidupanku. Aku buka perlahan kehidupanku padamu, aku buka gerbang di kehidupanku untukmu, lalu pintu rumah kehidupanku, lalu ruang terdalam di dalam rumah kehidupanku, yaitu hatiku.
Hidupku mulai dari kecil selalu dinaungi dengan mendung, selalu muram. Ayah ibuku, orang tua yang tidak mengerti akan agama. Sementara engkau, anak dari seorang da’i, keturunan kyai Madura, termasuk anak orang terpandang. Maka memandangmu aku seperti memandang langit, sampai kapanpun aku tak akan bisa menggapaimu.
Tetapi, ternyata kehendak cinta berkata lain, cintamu dilandasi keikhalasan dan kesucian. Padaku engkau sampaikan bahwa cinta yang engkau maknai adalah cinta tanpa mengenal pangkat, keturunan, dan kekayaan. Semuanya adalah kemurnian.
Mengetahui engkau seperti itu tak khayal bila engkau hadir dalam hidupku bak malaikat yang turun dari Sorga, membasuh wajah muramku dengan air telaga Kautsar sehingga membangkitkan gairah semangat hidupku yang lama gersang dan tandus. Engkau adalah cahaya dalam kehidupanku Mas, cahaya yang sangat mulia ...
Karena cahayamu, aku memperoleh kebahagiaan. Aku seakan terlahir kembali menjadi seorang perempuan yang mulia, perempuan yang bersanding dengan seorang ahli agama yang tulus ikhlas. Oh, betapa bahagianya aku bersamamu meski banyak halangan merintangi jalur cinta kita berjalan, kau selalu kuat, aku selalu kuat. Bila aku jatuh kau ulurkan tangan kepedulianmu, bila kau yang jatuh aku ulurkan pula tangan kepedulianku. Kita saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain. Saling mencintai dengan kekhalalan hubungan pernikahan yang sah, pernikahan yang sah! ...
Tetapi, aku baru menyadari sekarang bahwa di dalam cahayamu yang menyinari ruang gelap dalam hidupku ada sebuah noda, noda yang bagai gerhana matahari. Kegelapan yang menghalangi cahaya kasihmu hingga duniaku gelap kembali. Kegelapan yang menghalangi cahayamu adalah ridho Ibumu Mas ....
Kita telah melewati cobaan dalam hidup bersama-sama, cobaan cinta kita. Aku bukan menyerah Mas, bukan pula cinta berkurang apalagi memudar. Aku juga tidak pernah takut mencintaimu. Yang aku lakukan ini adalah karena sebuah pertimbanganku. Mas, setelah lama aku bermenung, aku menemukan sebuah pemikiran mengenai kita. Pemikiran tersebut muncul lantaran aku tak sengaja mendengarkan percakapanmu dengan Ibumu pagi kemarin. Saat itulah aku sadar bahwa kita harus berkorban.
Mas, cahayaku yang kini sedang gerhana sinarnya. Gerhana oleh bayang-bayang murka Ibumu. Bagaimana dikata, Ibumu tetaplah Ibumu. Nabi mengatakan “Ibumu! Ibumu! Ibumu!” baru kemudian “Ayahmu.”
Aku merasa aku telah durhaka padamu Mas dengan mengatakan demikian. Tetapi, memang ridho seorang istri, seorang wanita, ada di telapak tangan suaminya. Namun, ridho seorang suami, seorang lelaki, ada di tangan ibunya sendiri.
Mas, aku tidak bisa melihatmu bercerai-berai dengan keluargamu, keluarga besar dan terhormat. Apalagi, aku tidak bisa melihatmu bermusuhan dengan Ibumu, aku tak mampu aku tak sanggup. Mas, maafkan aku Mas sekali lagi. Aku benar-benar merasa durhaka Mas padamu. Aku adalah seorang istri yang meninggalkan rumah suami tanpa seizinnya.
Kepergianku yang tiba-tiba pasti sungguh mengejutkanmu pastinya. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tetapi sepertinya ini tak akan berhasil bila aku langsung bertatap muka denganmu. Bila hal ini kubicarakan di depanmu, maka kau pasti akan memelukku, menyemangatiku untuk tidak gentar, terus melangkah bersama, dan terus kuat selagi bersamamu. Maka bibirku yang ingin mengatakan hal ini pun akan terkunci.
Mas, aku ingin engkau menikahi Ning Azizah, dengan begitu kau akan mendapat ridho Ibumu. Sementara untukku, kau bisa menggantungkannya. Dan kau bisa pula menceraikanku bila memang itulah yang terbaik, demi ridho Ibumu Mas, demi ridho Ibumu Mas! Tetapi, kita akan selalu saling mencintai Mas, percayalah!
Aku tak apa, asalkan kau mendapatkan ridho Ibumu. Berat bagiku mengatakan hal ini, dan juga berat pula bagimu untuk membaca kata-kataku tadi. Kehadiran Azmi Hail sudah cukup buatku bahagia Mas, aku bahagia meski terluka sebenarnya. Tetapi, luka yang kuderita semakin kan menganga bila engkau tidak mendapatkan ridho Ibumu. Aku akan semakin merana ...
Dan bila engkau telah bersamanya, cahayamu dalam jiwaku tak akan pernah redup. Akan selalu kubiarkan pintu jiwa terbuka sehingga cahayamu, cahaya cinta dan kasihmu mampu merasuk ke dalam sukmaku, meski cahaya itu bukan cahayaku lagi. Dan kini, cahaya cinta yang telah kau berikan padaku, telah menghadirkan sesosok cahaya kecil bagai lilin namun tak akan surut mengecil lalu padam,cahaya itu kan semakin besar, cahaya kecil itu adalah Azmi Hail, pangeran kita.
Mas, kau seorang yang ahli agama, ditempa oleh pendidikan Al Quran mulai kecil. Engkau lebih hebat dariku, aku tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu. Engkau pasti tahu tentang sebuah hadis yang mengatakan tentang apabila seorang perempuan mendapatkan ridho suami, maka boleh masuk ke surga lewat pintu mana saja. Aku meminta ridhomu Mas sebelum kita benar-benar berpisah, karena untuk perempuan sepertiku, tanpa ridhomu aku bukan apa-apa.