Umar benar-benar menepati janjinya pada Zainab. Selang sepuluh hari seusai Idul Fitri, ia bertolak menuju Malang. Tentu ia telah mendapat restu dari gurunya, Kiai Rasyid, dan dari kedua orangtuanya. Ia meminta izin kembali ke Malang untuk mencoba berdakwah di sana. Itulah niatan utamanya.
Pemuda itu kembali mendatangi pesantren milik Kai Sholehudin. Melihat kedatangannya, Kiai Sholehudin terkejut karena kedatangan itu tidak pernah dibahas sebelumnya. Selama masih di pesantren, ia juga tidak pernah bercerita pada Kiai Sholehudin kalau akan kembali. Sesudah bercakap-cakap sebentar sore itu, Kiai Sholehudin bertanya padanya, “Sebenarnya selain bersilaturrahmi padaku, apa maksud dari kedatanganmu?”
“Saya ingin ke kampung di mana Zainab tinggal, saya ingin mencoba berdakwah di sana.”
Kiai Sholehudin tertegun. Ternyata pemuda yang berada di depannya ialah pemuda yang mempunyai semangat dakwah, karena sebenarnya ia tak usah jauh-jauh ke Jawa, sebab sudah dinanti-nanti oleh orang-orang di daerahnya untuk berdakwah, pikirnya. “Iya Umar, semoga engkau akan mendapatkan jalan kemudahan dari-Nya. Pesanku padamu adalah agar engkau selalu ikhlas berjuang. Biarkan dunia yang mengikutimu dan bukan engkau yang mengikuti dunia. Orang yang berdakwah itu banyak godaan, janganlah engkau lalai dan tergoda apalagi sengaja lalai dan tergoda. Jadilah pendakwah yang namanya harum di mata Sang Pencipta, jangan menjadi pendakwah yang hanya dipandang mulia oleh orang-orang, tetapi dipandang lain oleh Allah,” tutur beliau.
Dari pesantren Kiai Sholehudin, ia berangkat bersama salah seorang santri di sana untuk menunjukkan di mana rumah Zainab. Perempuan yang akan ia temui sudah tidak berada di pondok lagi, Zainab sebenarnya sudah boyong. Kemarin saat bulan Ramadhan, ia berada di pondok hanya untuk mengikuti pengajian selama bulan Ramadan di pesantren itu.
Perjalanan dari Desa Panjer ke Gondangdia ditempuh menggunakan sepeda motor. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 30 menit. Sesampainya di Kecamatan Gondangdia, lelaki yang mengantarkannya berbelok ketika sudah berada di depan gang Desa Pucukrejo. Saat perjalanan dari gang itu sudah jauh, ia mengira sebentar lagi sampai, ternyata tak sampai-sampai. Kampung Burengreng masih sangat jauh ternyata. Perjalanan harus melewati hamparan perkebunan tebu dan sawah dengan jalan berbatu dan berpasir. Baru setelah itu, sampailah ia di sebuah kampung kecil, terletak di pelosok dusun.
“Ustad, ini rumahnya,” kata lelaki yang mengantarnya begitu sampai di depan rumah Zainab.
Pandangannya menyoroti rumah itu seturun dari motor. Rumah itu amat sederhana. Dindingnya terbuat dari gedek. Gentengnya sudah berlumut. Temboknya berkarat. Lantainya masih menggunakan cor-coran semen.
“Ustad, apa saya perlu mengetukkan pintu untuk Anda?” kata lelaki yang mengantarnya seraya ikut turun dari motor.
“Tidak perlu, cukup sampai di sini saja, aku ucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Kalau begitu saya kembali dulu Ustad, Assalamualaikum,” lelaki itu mengecup tangannya.
“Waalaikumsalam.”
Setelah lelaki gemuk itu pergi, ia melangkah perlahan sambil terus memandangi rumah itu. Beberapa langkah berjalan, pemandangan kesederhanaan rumah itu tiba-tiba sirna ketika pintu rumah itu terbuka. Zainab yang keluar dari rumah dan menyirnakan kesederhanaan rumah itu di matanya. Zainab memakai baju putih—warna kesukaan perempuan itu—dipadu dengan kerudung warna putih pula. Tak perlu corak-corak warna-warni burung merak untuk menyanyaingi keanggunan seekor angsa.
Zainab sendiri terkejut bukan main atas kehadiran Umar. Ia pun teringat akan pesan Umar sebelum pergi, “Aku akan kembali.”
Dan hari itu Umar, janji itu benar-benar terbayar lunas. Tidak lunas pun ia juga tidak terbebani—ia sadar siapa ia. Ia pun sungguh terkesan ustadnya itu. Dan hal yang paling membuatnya terkesan adalah kedatangannya di rumahnya yang jelek itu. Baginya, kedatangan Umar di rumahnya adalah kehormatan agung. Sementara itu, dapat melihatnya lagi adalah suatu kebahagiaan besar.
“Assalamualaikum Zainab,” sapa Umar seraya mendekat.
“Waalaikumsalam,” jawabnya dengan malu-malu.
“Boleh aku masuk?”
“Boleh Ustad,” jawabnya dengan gugup karena lalai tidak mempersilahkan gurunya itu masuk.
“Saya ingin mengajar di sini, ya mengajar Quran mungkin, ndak usah ada imbalan dari orang-orang sini, biar saja saya ikhlas. Untuk masalah tempat tinggal saya ingin tinggal di sini untuk sementara waktu,” ujar Umar padanya, menerangkan maksud kedatangan.
“Tetapi Ustad, beginilah rumah saya, saya miskin tak punya apa-apa untuk memberi Ustad tempat. Tempat ini tak layak untuk orang mulia seperti Ustad.”
“Tidak apa-apa Zainab. Janganlah berkecil hati dengan keadaan. Bukan isi dan bentuk saja yang membuat rumah itu nampak sedap dipandang, melainkan bagaimana iman dan akhlak penghuninya.”