Datanglah sebuah surat selang beberapa hari setelah pernikahan. Surat itu ditujukan kepada Umar. Hafsah yang menulisnya.
Assalamualaikum Kakak
Maaf Kakak aku tidak bisa hadir ke acara pernikahanmu. Tetapi, ingatlah Adikmu ini selalu berharap yang terbaik bagimu, semoga engkau dan istrimu selalu dalam lindungan Allah, semoga bahagia selalu, menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.
Kakak, aku menulis surat ini atas kemauanku sendiri, juga atas kemauan Ibu. Sebab aku menulis surat ini adalah karena Ayah dan Ibu Kak, mereka selalu bertengkar akhir-akhir ini. Sebab utamanya adalah pendapat mereka yang berseberangan, Ibu yang tidak merestui dan Ayah yang merestui perkawinanmu.
Mereka ribut setiap hari. Tak segan-segan Ibu melontarkan kata-kata kasar pada Ayah. Yang lebih kunelangsakan, Ibu mengungkit-ungkit kehidupan Ayah. Dia berkata pada Ayah, “Untung apa aku menikah denganmu, kau orang biasa, sebenarnya kau tak se-kufu denganku.” Bila Ibu sudah mengatakan hal yang demikian, maka Ayah hanya bisa terdiam dan tertunduk. Ia seperti kehilangan daya semangat hidup, seperti sudah diputus jalan pernafasannya.
Aku dan engkau tahu Kakak, sifat Ibu memang seperti itu, keras. Tetapi, bagaimanapun kita haram mendurhakainya. Walau dia seandainya memang melakukan kesalahan, tetap saja patut kita hormati, ibarat sebuah sobekan Al-Quran, meski pun hanya sobekan tetap saja harus dimulyakan, memegangnya harus bersih dari hadas, lalu menaruhnya harus di tempat yang tinggi. Surga berada di telapak kaki ibu . . .
Aku tidak tahan Kakak, untuk itulah aku menceritakan hal ini pada Kakak agar hatiku menjadi lebih tenang. Aku rindu padamu Kakak, aku ingin curhat-curhat padamu seperti dulu kala sebelum kau ke Jawa. Aku rindu pada cerita-ceritamu, aku rindu pada hadis-hadis yang kau sampaikan, aku rindu pada hukum-hukum agama yang kau ujarkan padaku. Engkau memang saudara sekaligus guruku Kak.
Kakak, kemarin aku disuruh Ibu untuk menyampaikan sesuatu padamu. Berat bagiku untuk menyampaikannya. Tetapi, bila tidak kusampaikan maka aku akan durhaka padanya karena tidak mengiyakan suruhannya.
Kakak, aku yakin meski engkau akan sakit hati dengan pesan ini tetapi aku yakin kau tidak akan membencinya. Beginilah pesannya, “Bilang pada Umar, lewat apapun, katakan padanya jika ia terus melanjutkan rumah tangganya, dia boleh tidak kembali ke rumah, tidak kembali ke sini, dan jika dia ke sini aku tak akan pernah mau menganggap istrinya sebagai menantuku sampai kapanpun.”
Kakak, jangan marah dengan hal ini, aku ingat dulu kau sering menasihatiku, kata engkau orang yang paling kuat di dunia adalah orang yang sabar. Kakak juga jangan sedih. Kau pernah berkata padaku ketika aku sedih ‘la tahzan, jangan bersedih, selagi Allah bersama kita.’ Sudahlah Kakak, engkau yang di sana perbanyaklah berdoa semoga semua akan berubah, semua akan indah pada waktunya.
Sekian dulu Kakak.
Wasalam, Hafsah