“... Suamiku, bangunlah!”
Ia tersentak. Matanya terbuka cepat. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya: Ka’bah. Di depannya orang-orang berpakaian ihram sedang melempar salam buat Ka’bah. Ia ketidura sambil duduk bersila. Tangannya memegang tasbih kayu wangi. Perempuan yang membangunkannya itu pergi. Ia tidak tahu siapa dia. Ia berdiri dan berjalan ke arah perempuan itu. Dilihatnya perempuan itu sempat menoleh ke belakang. “Ahh!” pekiknya. Itu adalah Zainab.
“Zainab!” teriaknya kemudian.
Zainab segera kembali berjalan tanpa menghiraukan panggilannya. Melihat Zainab melangkah lagi, ia menyusulnya. Ia melihat Zainab masuk dalam barisan orang-orang yang thawaf. Ia pun ikut melakukan thawaf. Ia melangkah lebih cepat berharap dapat menyusul Zainab. Namun, perempuan itu sudah lenyap dalam desakan orang-orang di sekelilingnya. Ia pun keluar dari barisan thawaf. Ia berdiri mengamati orang-orang yang berputar. Matanya mencari-cari Zainab seperti orang linglung. Ia bingung bukan kepalang. “Di mana kamu Zainab? Mengapa kau meninggalkanku, bukankah kau tahu aku akan berdoa untukmu!” batinnya.
Ia terbangun. Ternyata pertemuan itu hanyalah kembang tidur. Ia menengok jam sedang berada tepat di pukul 01.00 dini hari. Ia beranjak duduk. Ia menoleh ke jendela. Malam ini benar-benar sunyi. Biasanya ada suara jangkrik. Alam di sekeliling seolah ikut berduka cita atas meninggalnya sang istri. Ia pergi ke kamar mandi.
Ia gelar sajadah di kamar. Di badannya telah melekat baju sika putih, sarung hitam, sorban yang melingkari leher, dan kopiah putih. Tak lupa ia gosokkan minyak wangi ke tubuhnya. Lafad takbir berhembus lirih dari mulutnya. Dalam rakaat pertama, ia bacakan surat An-Nisa’ ayat 1-10. Pada rakaat kedua, ia bacakan lanjutan dari surat An-Nisa’ ayat 11-20. Ia tidak hafal surat tersebut secara penuh, tetapi ia hafal separuh dari surat tersebut. Ia membaca surat tersebut dalam tahajudnya karena sedang berada dalam suasana mengenang sang kekasih. An-Nisa’ artinya perempuan. Di dalam surat An-Nisa, banyak diterangkan masalah perempuan, terlebih perihal seorang istri.
Usai salat, tasbihnya berputar. Jempolnya memutar butir demi butir dalam waktu yang lama. Kini saatnya untuk berdoa. Sebelum penutupan doa, yaitu kalimat sholawat dan hamdalah, ia tanyakan pada Allah SWT tentang mimpinya barusan. “Ya Allah, apakah sebab-musabab terjadinya mimpiku ini, peringatan dari-Mu ataukah bisikan setan Ya Allah. Hamba tidaklah tahu sebab hamba bukan nabi, bukan wali, bukan pula orang-orang yang senantiasa bersih dari dosa sehingga setan tidak dapat hadir dalam mimpinya.
Hamba sekarang berada dalam kedukaan, Ya Allah. Bimbinglah Hambamu yang lemah ini. Jangan Engkau biarkan setan membisikiku, menyuruhku kepada hal yang dimurkai-Mu. Ya Allah, jika seorang manusia berada dalam kedukaan, hatinya lemah, jika hatinya lemah, maka mudah melakukan hal-hal yang keluar dari ajaran Nabi Muhammad. Bimbinglah aku Ya Allah. Jadikan aku Muslimul Qowwi, muslim yang kuat, sebab muslim yang kuat lebih baik daripada seorang muslim yang lemah, Amin.” Kemudian ia menutup doa dengan sholawat dan hamdalah.”
Samar-samar terdengar, suara-suara dari lisan para jamaah haji:
“... Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syariikalakabaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syarikalah.”
Suaranya yang didengar itu terdengar samar dan pengelihatannya buram—ia berada di Masjidil Haram lagi.
Ia terbangun dari mimpinya. Sekali lagi, ia bermimpi. Ia ketiduran saat seusai membaca doa salat tahajud. Seketika itulah ia seperti mendapat penerangan di jalan yang gelap. Ia kini bisa melihat jalan itu—bisa melihat benar dan salah atas keputusan yang akan ia ambil. Dua mimpi yang sama dan juga berbeda hadir dalam waktu semalam. Persamaannya, gambaran akan mimpinya semuanya berada di Makkah, Masjidil Haram, Ka’bah. Dan bedanya, di mimpi yang pertama ia bertemu dengan istrinya dan di mimpi yang kedua tidak bertemu dengan istrinya.
Pada mimpi pertama, ia bertemu dengan istrinya di Masjidil Haram. Istrinya meninggalkannya untuk thawaf. Ia berusaha mencarinya, tetapi tidak bertemu, istrinya lenyap di antara ratusan orang yang sedang thawaf. Ini adalah sebuah petunjuk bahwa hal yang tepat ia lakukan pada saat matahari terbit esok adalah tetap pergi ke Makkah, tetap pergi ke Multazam dan Ar-Roudloh demi menjaga janji pada istrinya, sebab janji seseorang pada seseorang yang lain tidak akan pernah mati meski telah tiada.
Mimpi yang kedua menegaskan dan menerangkan tentang mimpi yang pertama. Menegaskan bahwa mimpinya adalah bukan dari setan atau iblis, tetapi jawaban dari doanya yang tidak dapat diterangkan. Mimpi yang kedua inilah yang membuatnya sadar bahwa membatalkan rencana haji demi menengok makam istrinya yang masih basah adalah sebuah kesalahan, ia harus tetap berangkat esok.
“... Kak, aku akan tetap berangkat,” katanya pada Ibrahim, kakaknya, sewaktu usai shalat Subuh.
“Benarkah, Umar?”
“Iya benar.”
Ketika itu Hafsah dan Halimah sedang berada di dekat mereka dan mendengar percakapan mereka.