Beberapa minggu kemudian ...
“Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Ya Allah, sampaikan salam cintaku pada Zainab, Ya Allah. Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosanya sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal dan terimalah semua ibadah serta amal kebaikannya. Lapangkanlah liang kuburnya dan terangilah.
Ya Allah Ya Tuhanku. Jadikanlah aku dan istriku, sepasang kekasih yang tak terpisahkan dan masuk berdua ke dalam surga-Mu di dalam kebahagiaan dan keabadian. Ya Allah, bimbinglah jalan kami berdua agar tetap berada di jalanmu. Ya Allah, jadikan kami pasangan yang Engkau ridhoi. Kuatkanlah kami dalam mengarungi kehidupan ini meski kini kusendiri tanpanya. Ya Allah, cintailah kami berdua, cintailah cinta kami berdua.
Ya Allah, jadikanlah anakku permata bagi agama, hiasan bagi agama ini Ya Allah. Jadikan dia anak sholeh. Bimbing dan sayangilah anak kami supaya kelak menjadi generasi Islam yang kami impi-impikan. Jadikanlah dia anak yang selalu berbakti pada orang tua baik yang masih hidup atau sudah meninggal, berbakti pada agama, dan bangsa. Jadikanlah dia seorang lelaki yang selalu mendoakan kedua orang tuanya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Jadikanlah dia seorang lelaki yang memegang teguh ajaran agama dan menyiarkannya kepada yang lain, jadikanlah dia orang yang mengabdi untuk agama ini Ya Allah. Jadikanlah dia seorang lelaki yang mencintai bangsanya, bangsa tempat di mana dia dilahirkan, jadikanlah namanya harum untuk bangsanya. Amin ....”
Itulah doa-doa yang dipanjatkan Umar di dua tempat di Makkah dan Madinah, tepatnya di Ar-Roudloh dan Multazam. Malam itu ia menginap di hotel yang berada di dekat Masjidil Haram. Ia teringat akan doa-doanya yang dipanjatkannya di dua tempat mulia tersebut.
Ia sedang duduk dengan kaki selonjor di atas tempat tidur di hotel tempatnya menginap. Dalam renungannya, ia juga mengingat kembali kebersamaan-kebersamaan bersama Zainab. “Mas, jangan liatin aku seperti itu,” ucap Zainab pada suatu malam.
Dia teringat akan wajah Zainab yang manja ketika mengucapkan kata-kata itu.
“Mas, aku takut Mas kehilangan engkau, doakan aku kuat Mas dengan semua ini, aku ingin terus bersamamu Mas, selamanya,” ucap Zainab padanya saat membicarakan perihal ibunya.
Ia mengingat wajah Zainab yang tampak sedih dengan keadaan yang terjadi, istrinya meminta bimbingannya. Wajah Zainab yang bersedih juga menampakkan keyakinan cinta padanya yang amat teguh. Sebagai awak kapal dalam bahtera rumah tangga, Zainab benar-benar meminta bimbingan sang nahkoda. Maka, sebuah bahtera pun akan mampu melewati segala macam badai dan angin.
“Zainab, aku mencintaimu,” lirihnya saat mengenangnya, seperti berbisik.
Beberapa hari kemudian, ia dan kakaknya pulang bersama dengan rombongan mereka. Setelah tiba di rumah, diadakanlah acara penyambutan haji selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu, begitu banyak tamu yang datang mulai dari saudara, teman, dan tetangga. Rumah itu ramai dan penuh canda tawa, juga dihadiri oleh para pemuka yang ada di sana. Menggambarkan betapa berderajatnya keluarga itu. Tetapi, ia sendiri malah terbaring lemah di kamar. Ia sakit. Kata kakaknya, tiga hari sebelum pulang, adiknya itu memang sudah mengalami sakit. Dan sampai saat pulang, masih belum juga sembuh. Kata dokter yang memeriksanya di Makkah, ia mengalami gangguan pada jantung. Sayangnya dokter belum bisa memastikan nama penyakitnya. Ia belum tertangani dengan baik di sana.
Malam hari setelah acara penyambutan haji di hari pertama, Hafsah mendatangi kakaknya di kamarnya. Ia lihat kakaknya yang sedang termenung di atas tempat tidur. Melihat adiknya datang, Umar menyunggingkan senyum untuk adiknya. Hafsah duduk di sebelahnya. Ia pandangi mata kakaknya yang sayu. Ia kasihan melihat rupa kakaknya.