Tahun 1995 ...
Azmi Hail sudah berusia tujuh tahun. Ia tinggal bersama Kakek seorang. Walaupun begitu, setiap sore ia kedatangan Bu Istiana bersama putrinya, Laila. Kedatangan dua perempuan itu mengurangi rasa kesepiaannya, menambahi aura bahagia wajahnya. Bersama Bu Istiana, ia memperoleh kebahagiaan sebagai anak yatim piatu. Selama ini, perempuan sahabat ibunya itu banyak mengajarinya banyak hal. Ia diajari baca tulis, tata cara sholat serta berdoa, dan yang paling ia suka ialah saat Bu Istiana menceritakan tentang kisah ayah dan ibunya.
“Kelak jika kau sudah lancar membaca, kamu bisa membaca ini. Suatu saat nanti kau akan menyukainya,” terang Bu Istiana suatu waktu.
Ada sebuah buku peninggalan ibunya. Bu Istiana mengatakan bahwa buku merupakan cerita-cerita kisah ayah dan ibunya dan surat-surat di antara keduanya—Umar dan Zainab—yang berisikan petuah-petuah luhur. Ternyata ibunya seorang yang giat menulis dan mengarang. Juga, pandai menghaluskan tutur kata yang ditorehkan melalui pena.
“Azmi, tulisan ibumu tentang ayahmu ini sungguh bagus, kata-katanya sungguh mengena. Rupanya ayahmu juga demikian, hampir sama dengan ibumu. Orang tuamumemang halus budi bicaranya, sehingga saat dimasukkan ke dalam tulisan amat mengena. Kelak bacalah buku ini. Kau pasti suka,” tandas Bu Istiana waktu itu.
Setiap pagi ia turut Kakek ke sawah. Kakek adalah seoang petani. Tugasnya menjaga dan merawat sawah milik orang yang diburuhkannya. Ia dan Kakek sering membawa sarapan ke sawah. Mereka akan memakannya di gardu sawah sambil memandangi pemandangan di sana.
Agak siang sedikit Kakek akan meninggalkannya di gardu yang berada pinggir sawah itu. Kakek bertolak menuju tempat pembuatan bata merah. Tentu saja tempat usaha itu bukan miliknya, ia hanya sebagai buruh. Azmi Hail yang masih berada di gardu tentu sendirian. Sesekali, ia menarik tali yang dihubungkan dengan plastik-plastik. Jika tali itu di tarik, dari penjuru-penjuru sawah akan terdengar suara seperti orang berkata, “Wus-wus-wus!” Burung-burung yang memakan padi akan segera terbang. Selain menarik tali, ia juga senang berburu belut.
Ketika adzan zuhur berkumandang, ia diajak oleh kakeknya ke sungai yang letaknya juga dekat dengan area persawahan. Sungai itulah yang mengaliri sawah-sawah di sana. Sungai yang airnya jernih, apabila ada ikan melintas, akan tampak terlihat kilau sisik dan sirip tipisnya. Sementara itu, Kakek membersihkan belut-belut tangkapan cucunya siang itu, agar bisa langsung dimasak ketika di rumah.
Begitu sampai di rumah, belut-belut sebesar jempol orang dewasa itu direndam dalam bumbu air garam dibaur kunir. Setelah itu, digoreng di wajan panas. Aroma belut goreng yang khas mulai merebak ke seisi rumah. Kakek memanggil Azmi Hail untuk makan bersama, menghabiskan waktu sampai sore menjelang. Pada jam empat sore Kakek akan pergi ke sawah lagi. Tetapi, tanpa mengajak sang cucu.
Suatu hari, seusai mandi di sungai, Azmi Hail dan Kakek pulang. Hari itu, ia mendapatkan tangkapan belut cukup banyak. Ia sangat senang keranjang plastiknya dipenuhi belut yang meronta-ronta kecipak-kecipik. Wajahnya ceria di sepanjang jalan yang ia lalui. Di perjalanan itu, ia berpapasan dengan sekelompok anak kecil berseragam hijau putih. Tiga anak laki-laki itu usianya kira-kira sama dengannya.
Sewaktu berada di rumah. Ia memikirkan akan tiga anak lelaki itu. Yang ia pikir adalah tentang sekolah. Sambil makan nasi berlauk belut, ia memikirkan akan sekolah. Ia ingin seperti anak-anak itu. Ia ingin bisa membaca dengan lancar dan baik, supaya lancar membaca tulisan-tulisan milik ibunya. Pun supaya bisa meniti jejak sang ibu dalam dunia menulis.
“Le, ada apa toh kok diam terus?” tanya Kakek.