Ada sebuah kekosongan dalam diri semenjak kepergian Bu Istiana. Ia yang selalu mendapatkan kasih sayang darinya, kini hanya tersisa kenangan. Baginya, perempuan itu ialah harapan setelah kedua orangtuanya wafat. Ia tidak tahu kemana harus mencurahkan isi hati di kala gundah dan mendapat pencerahan hati untuk pengembangan diri.
Sejenak, ia ingin menyendiri dari semua orang. Ia berjalan sendirian melintasi pematang sawah. Bermeter-meter ia melangkah terus ke arah selatan. Perutnya yang keroncongan tak dihiraukan. Hatinyalah yang sebenarnya tak berisi, kosong, hampa. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri mengapa orang-orang yang menyayanginya pergi, meninggalkannya lebih cepat? Ia tentu tidak dapat menolak takdir, tetapi untuk memahami takdir ia masih harus banyak belajar.
Bila ia terus berjalan ke selatan, ia akan menjumpai Desa Pucukrejo—desa dengan keadaan masyarakat yang lebih mapan daripada Desa Burengreng. Ia terus melangkah sambil terus mencurahkan kegalauan hati kepada setiap apa yang ia jumpai. Pada rumput, pada hamparan sawah yang luas, dan pada langit yang biru nan berawan. “Mengapa orang yang menyayangiku pergi, ibuku, ayahku, dan Bu Istiana beserta keluarganya!”
Tanpa ia sadari, ia sudah berjalan terlalu jauh hingga sampailah di daerah Desa Pucukrejo. Kakinya sudah meninggalkan pematang sawah. Kini berada di tepi jalan. Ia menyaksikan pemandangan desa itu. Keadaan desa itu asri. Rumah-rumah di sana terawat. Para penghuninya terlihat bersih dan berpendidikan. Desa itu sangat berbeda dengan desanya. Desa itu lebih baik dalam segala hal daripada, terlebih dari segi ekonomi dan pendidikan. Melihat keadaan anak-anak sebayanya di sana, ia menjadi iri.
Ia ke arah barat. Orang-orang yang sedang duduk-duduk di beranda rumah memandanginya. Ia menyadari penampilannya kotor dan lusuh. Kaos yang ia pakai sudah usang. Celana pendek yang ia pakai sudah robek dan dijahit, sehingga jahitannya mengganggu pandangan. Sandalnya adalah sandal japit yang sudah kusam dan amat tipis bagian alasnya. Wajahnya pun tampak lusuh. Rambutnya amburadul. Bau badannya apek.
Ada sebuah musala beberapa meter di depannya. Muala bercat putih itu mengingatkannya pada musala di kampungnya, hanya saja di sana lebih baik. Semakin dekat dengan musala itu, ia mendengar suara seseorang yang berbicara lewat pengeras suara. “Suara siapa itu, ada apa di sana?” batinnya, penasaran melihat kerumunan orang.
Ia sekadar ingin tahu. Langkahnya pun berbelok ke musala itu. Sandal-sandal kulit berjejer di halaman musala. Dari luar musala, ia dapat melihat seorang lelaki yang sedang berceramah. Ia dapat melihat jelas wajah orang yang sedang berceramah itu. Ia tertarik untuk mendengar ceramah itu lebih jelas. Ia memberanikan diri untuk memasuki gerbang musala. Kemudian duduk di teras depan. Ia mendengarkan ceramah sambil memandang wajah sang penceramah.
Ia dengar ustad itu berkata, “Maka para hadirin rahimakumullah, betapa hebatnya lafad Allah Azza Wa Jalla sungguh nama yang agung. Ketika Nabi Muhammad berkata ‘Allah’, maka orang yang sudah mau menghunuskan pedangnya kepada beliau, seketika terhenyak usai mendengar kata itu. Dia seperti orang ketakutan, tubuhnya gemetar dan peluhnya turun. Ada lagi, Sayyidina Abu Bakar, ketika mengucapkan lafadz Allah, maka akan tercium bau asap karena memang hatinya terbakar karena takut pada Allah.
Lalu apakah kita sudah ada perasaan takut pada Allah. Kita sering lalai menyebut nama agung-Nya. Kita hanya cengengas-cengenges ketika mendengar nama-Nya disebut. Mari kita di dalam mengucapkan lafad Allah kita hadirkan diri kita dalam keadaan benar-benar takut pada Allah. Jika kita sudah takut pada Allah, kita akan menjalankan segala perintahnya. Lama kelamaan karena kita menjalankan ibadah secara rutin pada Allah kita akan menemukan manisnya iman. Jika kita sudah menemukan manisnya iman, kita akan menuju kepada ibadah karena cinta Allah. Subhanallah ...”
Allah. Allah. Allah. Ia merenungi sebuah nama paling indah di dunia, yang telah keluar dari lisan sang penceramah. Nama paling mulia dan paling tinggi itu membuat hatinya yang kering tak terairi, adem dan tentram. Ia menemukan kesejukan ketika si penceramah mengucapkan nama itu. Ia sendiri mencoba mengucapkan nama itu dalam hati.
Ia merenung. Yang ia tahu dari Bu Istiana, Allah adalah yang menciptakannya, dan menciptakan manusia lain semata-mata hanya untuk menyembah-Nya. Allah yang mengasihi dan menyayangi manusia serta alam semesta, Dia yang membuat kehidupan di muka bumi ini. Terbesitlah doa yang tulus dalam hatinya, “Ya Allah, Aku ingin belajar agama.”
Matanya kembali melek. Setelah waktu berjalan cukup lama, ia dengar si penceramah yang menutup pengajian itu dengan sebuah doa. Ia ikut mengadahkan tangan sambil berucap, “Amin, amin, amin.” Ketika mengucapkan amin, orang yang duduk di pintu seketika menoleh ke belakang, ke arahnya yang sedang khusuk mengamini. “Siapa anak itu?” bisik salah seorang yang memandangnya dengan pandangan acuh.
Doa sudah selesai. Ia pergi ke teras depan musala bagian barat. Di sana, ia melamun sambil beristirahat. Ia kembali merenungi nasib yang tak ia pahami. Kali ini, ia tidak hanya ingin sekolah, ia ingin belajar ilmu agama. Ia ingin mengetahui tentang yang disebut ketauhidan. Ia ingn mendalami agamanya dengan baik dan benar. Keinginannya ini begitu kuat. Ia sampai berandai-andai, bahwa kelak di kemudian hari ia ingin menjadi lelaki seperti si penceramah itu.
Ketika sedang asik melamun di pojok sana, orang-orang di dalam mushola sedang melakukan acara makan-makan. Ia tidak menyadari akan hal itu. Telinganya hanya mendengar suara berisik di dalam. Ia duduk membelakangi mushola, sehingga tidak melihat apa yang dilakukan orang-orang di dalam.
Orang-orang di dalam sebagian besar mulai menyadari kalau ada anak kecil bermata sayu yang duduk di teras luar yang matanya penuh kekosongan. Anak kecil bermata sayu itu sedang merenungi nasib yang kurang beruntung, sudah miskin, kedua orangtua sudah meninggal dunia pula. Namun, tiada orang mau mendekatinya untuk sekadar membagikan rezeki berupa makanan yang sedang mereka nikmati. Padahal, mereka baru saja mendengarkan sebuah tausiyah. Entahlah.
Si penceramah bernama Ustad Thoriq, seorang ustad dari Pondok Pesantren Nurul Huda, Surodadi. Umurnya masih muda, tetapi sudah mendahului teman-teman sebayanya di pesantren untuk berceramah di luar pesantren. Di tengah menikmati makan, ia terus memikirkan anak yang tadi sekilas dilihatnya sewaktu ceramah. Ia tidak tahu kalau anak itu masih di musala. Ia mengira anak itu telah pergi.
Ia berjalan ke luar. Mengetahui kalau anak kecil itu ternyata masih ada, ia yang sedang membawa sebungkus makanan, berniat memberi makanan itu. Ia menepuk pundaknya dua kali. “Nak, ini makanlah,” katanya seraya memberikan sebungkus nasi dan sebotol air mineral. Segera ia bergegas masuk kembali ke dalam setelah itu.
Beberapa saat kemudian. Para jamaah berangsur-angsur pulang. Musala mulai sepi, hingga tinggal dua orang di dalam, yaitu Ustad Thoriq bersama takmir mushola. Sambil bercakap-cakap, dua orang ini berjalan keluar. Sampai di luar keduanya masih mengobrol. Ustad Thoriq terkejut melihat anak kecil itu masih duduk di tempat ia memberikan makanan dan minuman tadi. Dihampirilah anak itu. Makanan dan minuman yang ia berikan masih utuh membuat ia penasaran. “Nak, mengapa tidak dimakan?” tanyanya.
“Ini akan kumakan bersama kakek.”