Muara Cinta di Titik Semula

Faiz el Faza
Chapter #19

Sebuah Keistiqomahan

Dua belas tahun kemudian ...

Ia menginjak usia 19 tahun, tumbuh menjadi seorang remaja yang dikenal pendiam, tetapi banyak berbicara jika sudah berhadapan dengan masalah keilmuan. Ia pendiam yang bijak, diam di kala diperlukan, berbicara ketika memang dibutuhkan. Ketika ada orang-orang yang berkumpul, lalu  mengobrolkan hal-hal yang tiada bermanfaat seperti menggunjing, menjelek-jelekkan orang lain, bergurau di luar batas kewajaran, ia akan diam. Ia akan membuka buku atau kitab, lalu dengan dua hitam bola matanya bergerak-gerak dari kanan ke kiri atau dari kiri ke kanan.

Jika dia berhadapan dengan orang yang hendak membicarakan hal yang bermanfaat seperti mendiskusikan ilmu, ia akan berbicara, mendiskusikannya, mengemukakan pikiran dan gagasan. Jika sudah begitu, akan terlihat kecapakapannya. Terlihat pula kemampuannya dalam menguasai hati orang yang diajak bicara tanpa membuat orang yang diajak diskusi menjadi terganggu atau merasa direndahkan.

Ia kini sedang melanjutkan pendidikan tinggi agama di pesantren itu, STIKK, Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning. STIKK merupakan pendidikan agama tertinggi di sana setelah Madrasah Diniyah Program Enam Tahun dan Tiga Tahun. Kelas STIKK terbagi menjadi dua tingkat: tingkat D1 dan D2. D1 dan D2 masing-masing lamanya adalah satu tahun. Jadi, untuk lulus STIKK, para mahasiswa santri hanya perlu menempuh waktu dua tahun.

Di D1, pelajaran utama ada pada Kitab Nahwu Al-Fiyah Ibnu Malik, karya Syaih Ibnu Malik Al Andalusya. Kitab itu isinya berupa syiiran atau nadhom yang jumlahnya 1002 bait. Kitab tersebut dikajikan oleh seorang ustad pada pagi hari. Sementara pada sore harinya adalah pelajaran selain Nahwu, seperti Tauhid, Fiqih, dan Akhlaq.

Setelah Magrib, Kitab Al-Fiyah dipelajari kembali dengan metode diskusi. Bait-bait yang telah diterangkan oleh seorang ustad sebagai dosen, didiskusikan. Dua orang maju ke depan, yang satu menerangkan, yang satunya lagi bertindak sebagai moderator.

Setelah diterangkan kembali apa yang diterangkan oleh sang dosen tadi pagi, para mahasiswa boleh bertanya lewat moderator. Setiap pertanyaan akan ditulis oleh moderator. Biasanya, untuk sesi pertama, dibuka tiga pertanyaan. Nanti, sesi kedua, dibuka lagi tiga pertanyaan. Namun seringnya, hanya pada sesi pertama saja karena diskusi itu membutuhkan waktu yang lama. Kadang hanya ada satu pertanyaan saja yang terjawab, karena banyaknya argumen dari para mahasiswa santri yang diutarakan.

Tiap satu pertanyaan akan dijawab oleh sang penyaji terlebih dahulu. Jika jawaban kurang bisa diterima, ada kejanggalan atau kemusykilan, maka si penanya boleh meminta jawaban lain. Dan di sinilah para audien, para mahasiswa, dapat menyalurkan jawaban yang disertai dengan argumen. Ketika itulah akan terjadi debat antar individu yang seru. Di kala sudah terjadi perdebatan, kelas menjadi tegang, suasana kritis, tetapi tetap menjaga sopan santun karena mereka diawasi oleh sang dosen yang duduk di bangkunya, di depan kelas, di samping papan tulis.

Malam hari setelah shalat isya. Para mahasiswa STIKK melakukan kegiatan wajib belajar. Tempat mereka ada di mushola, letaknya di selatan masjid. Mushola itu menjadi bangunan pelopor cikal bakal pesantren. Mushola itu adalah bangunan pertama di sana. Dulu, bangunan itu adalah ndalem Kiai Bahar. Kini ndalem beliau yang berada di bagian barat mushola itu telah beralih fungsi menjadi kamar bagi putra beliau atau santri yang diistimewakan, semisal anak seorang kiai atau gus dari pesantren lain.

Akan tetapi, para santri tidak salat di sana, melainkan di masjid. Maka bangunan musala tanpa dinding itu merupakan bangunan terbuka, yang hanya diberi tiang-tiang besar yang mengitari bangunan. Selain digunakan untuk mengaji dan tempat belajar, musala itu juga digunakan untuk salat Jumat karena santri-santri di pesantren itu makin banyak tiap tahunnya.

Dulu, Azmi Hail dan teman-teman angkatan sewaktu masih SMA tempat belajarnya di masjid, boleh di luar, boleh di dalam. Kini, ia dan yang lain belajar di mushola itu. Jika dulu belajar dua pelajaran sekaligus; yaitu pelajaran sekolah dan pelajaran pesantren, maka kini hanya belajar pada pelajaran agama.

Lihat selengkapnya