Siang yang panas. Iqomah akan dilaksanakan 15 menit lagi. Azmi Hail sedang duduk bersila di teras ndalem. Khusuk dan tenang. Ia membaca Al-Quran surat Toha. Suaranya pelan, namun tetap merdu dan fasih.
Kiai Bahar keluar dari ndalem, santri-santri yang sedang berjalan ke masjid seketika berhenti. Pandangan mereka menunduk takzim. Tak hanya jarak yang dekat, mereka yang hendak ke masjid masih berada jauh di sana, di atas jembatan, juga ikut berhenti berjalan, memancarkan ketakziman masig masing.
“Ayo!” ucap beliau sambil mengisyaratkan tangan dengan melambai-lambaikan sebagai tanda untuk tetap melanjutkan perjalanan. Santri-santri melanjutkan perjalanan. Tentu dengan langkah pelan, sopan, dan santun.
Sementara itu, ia yang berada tepat di depan Kiai, masih duduk tak berpindah dari posisi. Lisannya masih melantunkan bacaannya. Matanya masih membaca baris ayat-ayat suci Al-Quran. Ia tidak berdiri untuk sekadar memberi hormat pada beliau. Alasannya, dulu di awal beristiqomah membaca Al-Quran di depan ndalem, seketika Kiai datang, ia lantas berhenti. Al-Qurannya ia taruh di depan dada. Kepalanya menunduk diiringi dua langkah ke belakang.
“Loh, kenapa ini?” tanya beliau saat itu.
Ia hanya diam.
“Teruskan membacanya jika sedang baca Quran. Jangan berpindah,” tandas beliau.
Semenjak itulah ia tetap membaca Al-Quran walaupun ia berada di depan beliau langsung. Bagi yang tidak tahu-menahu, apa yang ia lakukan itu pasti dianggap kurang sopan.
“Le, tolong ambilkan arlojiku di rumah timur,” kata Kiai selang beberapa lama setelah beliau memperhatikan santri-santri yang berjalan ke masjid.
Mendengar hal itu, ia segera menutup Al-Quran. Lantas segera memenuhi perintah. Ia berjalan menuju ndalem timur. Matahari panas sekali siang ini. Teriknya mengiringi langkahnya menuju ndalem timur. Ndalem timur adalah rumah Kiai Bahar yang berada di wilayah pesantren putri.
Langkahnya mulai jauh. Sudah tampak gerbang pondok pesantren putri. Jembatan itu sudah terlihat jelas. Taman-taman bunga bougenvil di depan gerbang sudah tampak pula begitu juga dengan air mancur di depan gerbangnya. Yang membuat nyalinya menciut adalah ramainya kaum hawa di sana, penghuni asli pondok putri. Mbak-mbak berseragam SMA dan SMP sedang wira-wiri di area gerbang sambil mengobrol atau hanya sekadar menunggu teman untuk berangkat sekolah bersama.
Di pesantren itu, seluruh santri putri sekolahnya dimulai pukul 12 siang, sebab jam 6 pagi sampai zuhur adalah jam putra. Sekolah di sana dipisah antara lelaki dan perempuan. Menyesuaikan dengan asas pesantren salafiah.