Muara Cinta di Titik Semula

Faiz el Faza
Chapter #21

Tarian Pena yang Terhenti

Bulan Ramadan telah berjalan melewati hari demi hari. Kini menjelang hari ke-20 di bulan mulia ini. Esok adalah hari ke-21 bulan ini. Santri-santri akan dipulangkan ke rumah selama 20 hari. Kembali ke tempat di mana orangtua menunggu kehadiran anggota keluarga yang sedang pergi sebagai petualang ilmu. Begitu juga dengannya. Ia akan pulang di hari ke-21 Ramadhan. Wajah Kakek dan bentuk rumahnya yang, tergambar dalam benak. Begitu juga dengan alam kampung halaman yang hijau, persawaha, perkebunan dan sungai yang jernih, membuatnya ingin merobek hari, agar esok cepat datang.

Subuh hari pun tiba. Ia sedikit mengantuk karena tadi malam begadang dan bekerja menyiapkan Acara Malam 21. Acara malam 21 adalah acara rutin yang diadakan tiap akan libur Ramadan. Acaranya berisi beragam hiburan serta tausiyah dari keluarga ndalem sebagai acara pembuka. Ia dan yang lain menjadi panitia penyelenggara acara. Rasa kantuk itu menghilang saat Kiai Bahar mulai memasuki masjid untuk menyampaikan nasihat—sebagai pelepasan kepulangan santri-santri.

“Santri-santri, menjadi santri itu bukan hanya di pondok, tetapi ketika pulang juga harus santri. Kalian di rumah harus tetap menjadi santri. Di sini kalian mengaji Al-Quran dan shalat berjamaah setiap hari maka di rumah kalian, kalian juga harus seperti itu. Di sini kalian menghormati ustad-ustad kalian, di rumah kalian juga harus menghormati bapak dan ibu kalian. Ingat! Santri itu hanyalah sebuah nama bagi kalian murid-muridku, tetapi sebenarnya santri itu ada di dalam hati kalian masing-masing, di pondok santri ketika berada di luar pondok juga santri,” ujar beliau.

*****

Ia tiba di rumah selepas waktu duha. Melihat rumah itu, sedikit sekali perubahan di dalamnya. Di luaran pun demikian. Keadaannya tetaplah sama dari tahun ke tahun, kecuali halaman belakang. Halaman belakang rumah yang dulu merupakan pekarangan tak terurus, kini berganti dengan sebuah kandang besar berisi kambing-kambing yang sehat, setia mengembik setiap saat.

“Wah Kakek, rumah ini jadi bertambah ramai,” ujarnya seraya membantu Kakek merawat kambing.

“Iya Le, alhamdulillah ini semua berkat doamu dari pondok.”

Dengan lahap seekor kambing bercorak hitam putih di muka memakan rumput gajah yang disodorkan olehnya. Salah satu hal yang dirindukannya dari rumah adalah mengurus kambing-kambing ini, yang menjadi penopang ekonomi keluarganya. Tentang baunya menyengat itu, ia sudah terbiasa. Ia pernah bertugas di membersihkan tempat sampah pusat di pesantren yang baunya melebihi yang dihirupnya saat ini. Sambil berpindah memberi makan kambing-kambing yang lain, ia sesekali mengelus kepala mereka.

Ada lima belas kambing di sana. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Cukuplah untuk menopang ekonomi. Itulah usaha yang dilakukan Kakek selama 11 tahun ini. Ia berternak kambing awal mulanya ketika cucunya masuk ke pondok mendapat waktu satu tahun. Tak ada niatan sebenarnya untuk berternak. Hanya saja, suatu hari ada tetangga jauh yang datang ke rumah.

“Mbah, tolong bantu saya, anak saya sakit. Kambing ini saya jual pada Mbah dengan harga yang saya potong seperempat dari harga normal di pasaran,” kata orang itu.

Ia mengenal orang itu. Lelaki itu sahabat lamanya. Meski tidak terlalu kenal baik, ia kasihan melihatnya. Anak orang itu sedang sakit parah. Dirawat di rumah sakit dan butuh biaya banyak. Orang itu sudah berkeliling ke sana ke mari untuk menjual kambing, namun tiada hasil. Setelah ia berpikir cukup lama, akhirnya ia putuskan untuk membelinya. Ia masuk ke rumah untuk mengambil uang.

Ia merasa uangnya tidak mungkin dipakai untuk membeli kambing itu. Ia memikirkan ke depannya. Bukankah uang itu buat mengirim cucunya di pesantren? Ia pun mengurungkan keputusan. Namun, teringat kembali pada kesusahan yang ditimpa orang itu, akhirnya ia tetap membantu.

“Ini, Pak, uangnya,” katanya sewaktu tiba di ruang tamu.

Lihat selengkapnya