“Le, di pondok, kan, banyak sekolah, ada MI, Mts, SMP, MA, SMA. Semuanya lengkap di sana. Jika kamu kelak mengajar di sana, sama saja engkau mengabdi pada kiai, karena semua sekolah itu milik beliau.”
Kata-kata itu muncul ketika ayat-ayat Al-Quran sedang dibacanya di depan ndalem—saat ini masa liburan selesai dan ia sudah di pesantren lagi. Kata-kata itu seperti sebuah gantungan kunci, sehingga ia mudah menenumukan di mana kunci itu berada. Kunci itu adalah kunci hati, untuk terus membuka jalan niat kembalinya ia ke pesantren. Matahari mulai tampak tenggelam. Langit menampakkan mega merah. Azan magrib akan dilantunkan beberapa menit lagi.
Muncul kata-kata lagi dalam benaknya, “Le, Kakek sudah tua sekarang.”
Ia pun seketika berpikir. Kakek sudah tua sekarang. Apalagi Kakek merupakan satu-satunya keluarganya. Dan ia juga satu-satunya keluarga bagi Kakek. Saudara-saudara dari Kakek, sudah minggat semua. Tidak jelas di mana berada, masih hidup atau sudah mati. Mereka adalah saudara yang saling serang pada saudara lain. Kemiskinan adalah faktornya. Karena kemiskinan, persaudaraanpun menghilang. Saling rebut harta warisan; tanah, sawah, ladang, dan rumah, adalah akibatnya.
Sementara itu, saudara-saudara dari mendiang ayahnya, entah mengapa sudah tidak ada kabar lagi, seperti menghilang ditelan Bumi Madura. Terakhir ada kabar dari bibinya, Hafsah, yang datang ke pondok Nurul Huda untuk menjenguknya. Itu pun jauh-jauh masanya. Saat itu ia masih kelas tiga MI. Kabarnya Bibi Hafsah menikah dengan orang Pontianak. Mungkin itulah alasannya mengapa tidak pernah ada kabar lagi.
Tetapi oh tetapi, bagaimanakah untuk meminta izin pada Kiai Bahar. Ia merasa tidak mungkin dapat melakukannya. Meminta izin buat boyong, ia merasa tak enak hati. Takut merasa kurang tawaduk pada beliau. Belajar agama di pesantren, tidaklah sama dengan belajar agama di luar pesantren. Pertalian guru dengan murid, bagaikan pertalian batin dengan jiwa. Di pesantren, ketaatan menjadi nomor satu, sementara kecerdasan berada di bawah ketaatan. Kelakuan baik, akhlak mulia, dan budi pekerti agung, ada di atas kecerdasan dan keintelektualan. Namun antara ketaatan dan kecerdasan, memiliki sisi yang sama, anak yang taat rata-rata cerdas.
Seorang kiai di pesantren ibarat seorang dokter yang mengerti akan dosis-dosis belajar seseorang. Ada dua orang yang sama-sama mondok lama, mau minta boyong, kadang yang diberi izin hanya satu, yang lainnya tidak. Padahal, masa belajar selama di pondok sama. Kiai hampir jarang menjelaskan mengapa melakukannya. Hal itu juga tak mampu dijelaskan secara rinci—sebab berkenaan dengan ilmu batin dan kebatinan. Yang dipercayai seorang santri halanya nasihat kiai adalah kekaromahan, dan kekaromahan merupakan hal gaib, tak kasat mata tapi dapat dirasa.
Tetapi, setelah lama ia termenung mengingat perkataan-perkataan Kakek beberapa hari yang lalu sebelum liburannya usai dan kembali ke pesantren, akhirnya ia pun memutuskan sesuatu.