Empat puluh dua hari telah berlalu. Ia akan pulang untuk selamanya. Boyong dari pesantren yang telah membesarkannya. Dilihatnya lekat-lekat ndalem Kiai yang akan ia tinggalkan. Terkenanglah tempat tidurnya—undakan ndalem yang kedua. Kemudian ia membayangkan malam nanti tidak tidur di sana lagi. Berarti, tadi malam adalah malam terakhir ia tidur di sana. Sekarang, ia sedang berdiri di depan ndalem untuk bertemu beliau—pamit.
“Ayo Le masuk,” kata Kiai Bahar sewaktu membuka pintu.
“Inggih Kyai ....”
Di dalam, ia duduk berhadapan dengan beliau. Ia menunduk. Telinganya menanti wejangan terakhir dari beliau. Menantikan itu, membuatnya rindu sebelum berpisah. Ia sudah menganggap beliau sebagai ayahnya sendiri. Telah banyak yang diberikan beliau untuknya dan ia belum dapat membalasnya.
“Le ...,” kata beliau.
“Dalem Kyai,” jawabnya dengan takzim.
“Aku mau kau seminggu lagi di sini. Baru setelah itu kau boleh pulang.”
Tanpa ada rasa berat, ia menjawab mantap, “Iya kyai ... akan kulo penuhi.”
“Kalau begitu kembalilah ke kamar dan tunggu aku memanggil.”
Ternyata tidak hari ini. Kiai Bahar masih enggan melepasnya walaupun ia sudah memenuhi tirakat puasa dan jamaah salat fardu 41 hari berturut-turut. Hari ini pun sudah dinanti-nantikannya, dan ketika hari itu datang, ia harus membatalkan rencananya. Semuanya telah ia siapkan dari kemarin. Baju-bajunya telah ia lipat dan dimasukan dalam tas dan kresek. Semua kitab dan bukunya telah ia rapikan dan dimasukan dalam tas punggung. Loker tempat menyimpan baju dan kitab-kitabnya telah bersih, sudah tidak ada barang apapun di sana.
Seseorang menyalaminya saat ia keluar dari ndalem, saat dalam perjalanan ke kamar. “Pulang pagi initah?” kata orang itu.
Ia meraih tangan itu. “Tidak sekarang, Latif,” jawabnya singkat.
Banyak orang di belakang temannya itu yang hendak menjabat tangannya, sebab akan melepas keboyongannya. Semua akan melepas kepergiannya pagi ini. Ketika ia mengatakan kalau tidak pergi sekarang, seketika bermunculan pertanyaan-pertanyaan di benak teman-temannya.
“Kamu pergi besok kalau gitu?” kata salah seorang teman.
“Kamu jadi pulang kapan?” kata yang lain.