Ia membuka sebuah halaman di buku tulis kitabnya sore itu. Penjelasan kitab Al-Fiyah bab terakhir dicatatnya kemarin lusa. Paginya telah dilaksakanan acara selamatan atas khatamnya kitab itu. Ia menyadari satu hal. Saat ini, ia sudah menamatkan kitab nahwu tersebut, yang berarti ia telah mendapatkan kunci untuk memahami agama secara mendalam melalui penalaran nahwu dalam memahami bahasa Arab, karena fatal akibatnya mempelajari kitab tanpa paham kaidah nahwu dan saraf, apalagi memahami urgensi Al-Quran dan Hadis—bisa-bisa salah tafsir, salah paham, atau pahamnya yang salah. Hikmah di balik Kiai Bahar menunda-nunda keboyongannya sampai berbulan-bulan lamanya hingga hampir setahun terjawab sudah.
Sepekan setelahnya, ia dipanggil Kiai Bahar. “Sudah Le, sekarang boyonglah engkau, semoga ilmumu bermanfaat,” ucap beliau pagi ini di ndalem.
“Amin, Inggih Kiai—”
“Le, kau harus mengajarkan agama meski satu huruf, itu pesanku padamu.”
“Iya Kiai, doakan saya hasil.”
Seusai bersalaman dengan teman-teman, ia turun dari kamar. Di bawah, tepatnya di depan kantor, Kakek sedang duduk-duduk di teras. Menunggunya. Sebuah senyum ia kembangkan pada Kakek yang sedang melihatnya berjalan di jalan yang menurun.
Ia dan Kakek berangkat pergi. Ia naik motor Kakek dengan memboncengnya. Sebuah tas punggung menempel di punggungnya. Sementara itu, Kakek membawakan tas yang lain.
Sinar matahari pagi menyinari jalan raya. Motor yang dikendarainya sedang melaju stabil. Pondok pesantren tempat ia belajar dan tumbuh menjadi remaja, menjauh dari jarak ke jarak. Masa kecil dan seperempat masa remajanya dihabiskan di sana. Kini, setelah genap 13 tahun, ia resmi boyong dengan membawa bekal doa sang guru—Ini adalah pencapaian paling penting bagi seorang santri ketika boyong.
“Percayalah, kelak jika kau hendak boyong, entah itu sepuluh tahun, dua belas tahun, empat belas tahun dan seterusnya. Ketika kau boyong kau akan berkata ‘mengapa waktu secepat ini? seperti terasa baru kemarin aku di sini’.” Perkataan Ustad Thoriq sewaktu ia berangkat mondok saat masih kecil terlintas ketika melewati Pabrik Pioner. Tanda memasuki wilayah Ketawang.
Sampai di rumah. Ia duduk-duduk di kamarnya. Ia tetap menempati kamarnya yang dulu sewaktu kecil. Kamar itu masih menggunakan dipan yang sama. Hanya kasur, bantal, guling, dan selimutnya telah diganti. Itu kamar yang senantiasa ia diami ketika pulang liburan pesantren.
Ketika ia duduk, mengistirahatkan tubuhnya yang sedikit lelah, matanya memandangi foto ayah dan ibu yang masih terpajang di dinding. Bingkai foto itu masih terawat rapi. Terlihat mengkilap kayunya. Kacanya juga terlihat bersih bak air jernih, sehingga dua orang, suami-istri, ayah dan ibunya, yang ada di dalamnya masih terlihat jelas.
Jika saja Zainab dan Umar masih hidup, melihat anaknya yang sekarang, tentu akan membuat mereka bahagia. Tiga belas tahun anak mereka berada di pesantren. Mengabdikan separuh dari masa remaja dan separuh masa kecil di pesantren. Anak mereka tumbuh menjadi seorang lelaki yang pendiam, lemah lembut, suka merenung dan berpikir. Tetapi, sebenarnya manusia meski sudah meninggal, mereka bisa melihat keadaan di dunia, keadaan anak dan cucu-cucunya.
Dengan memandang wajah kedua orangtua meski hanya dalam bingkai sebuah foto, Azmi Hail senang. Merasa bahwa di sana, di alam yang tak kasap mata namun benar akan adanya itu, orang tuanya merasa bangga akan dirinya.