Muara Cinta di Titik Semula

Faiz el Faza
Chapter #26

Orang Ini Aneh!

Hari-hari telah berlalu, sementara ia belum juga menemukan tempat akan kuliah. Akhirnya, ia putuskan untuk ke pesantren dulu. Mengunjungi Kiai Bahar yang telah ia rindui. Tujuan utamanya adalah mencoba menanyakan langkah apa yang harus ia ambil untuk bisa membuka pengajian di kampung sembari menempuh kuliah.

Begitu sampai di pesantren, kebetulan ia bertemu dengan beliau di luar ndalem. Beliau sedang berolahraga dengan berjalan-jalan tanpa alas kaki di area pesantren yang luas. Seketika bertemu, ia diajak untuk menemani beliau jalan-jalan pagi. Setelah merasa cukup, beliau melangkah kembali ke ndalem. Beberapa meter dari rumah beliau, tiba-tiba tangannya digamit oleh dan dibimbing menuju ndalem. Beliau memang luar biasa. Seorang santri bagi beliau bukan hanya seseorang yang pernah dididik, melainkan beliau sayangi seperti menyayangi putra-putri sendiri.

“Terus jadi kuliah di mana, Le?” tanya beliau.

“Masih belum menemukan Kiai, masih banyak pertimbangan.”

“Lalu, pengajiannya?”

“Juga masih belum Kiai. Inilah sebabnya saya silaturahmi pagi ini. Saya ingin meminta saran dari panjenengan.”

Le, mulailah dengan tirakat. Sebelum kau umumkan pada masyarakat, bacakanlah surat Yasin sebanyak 41 satu kali. Baru paginya, kau umumkan. Dalam memulai sesuatu yang besar hendaklah dimulai dengan tirakat terlebih dahulu.”

Setelah mendapatkan saran, ia lekas pulang. Malamnya langsung ia jalankan. Begitu wajah pagi mulai muncul, ia merasakan sudah siap menghadapi masyarakat desa. Ia kabarkan pada Kakek bahwa musala di kampung itu akan ia buka sebuah tempat pengajian Al-Quran. “Kakek, tolong kabarkan pada tetangga,” tutupnya setelah menjelaskan semua.

Sambil menunggu kabar dari Kakek, ia duduk kursi di ruang tamu. Sebab tidak ada pekerjaan pagi itu, pikirannyalah yang bekerja. Ia masih belum tahu di mana akan kuliah. Teringat ia akan sekolah tinggi yang dikatakan Kakek beberapa hari yang lalu, ada gerakan di hati untuk mencoba mengunjungi perguruan tinggi itu. Ia pun lekas pergi.

Selesai meminta profil kampus dari kantor, ia keluar. Di depannya, menghampar luas rerumputan yang sebagian besar tidak terurus. Halaman luas depan kampus itu juga belum di-paving. Rerumputan itu terlihat menguning, tanda saat musim kemarau menyapa. Rumput-rumputnya terlihat kurus mengering diterpa angina yang membawa debu dari halaman luas itu. As-Salam merupakan perguruan tinggi kecil di Jalan Raya Ketawang. Suasananya alami pedesaan. Asri dan hijau. Ia baru tahu ternyata pemilik yayasan perguruan tinggi itu adalah seorang keluarga ndalem dari Pesantren Nurul Huda, pesantrennya sendiri.

Ia duduk sebentar di sana, di dinding yang menjadi pagar yang dapat diduduki, tingginya hanya setengah meter. Ia menemukan kenyamanan berada di sana. Ia teringat perguruan-perguruan tinggi besar di kotanya. Tentu sekolah tinggi yang ia datangi pagi itu, berbanding jauh dengan yang ada di pusat kota. 

Lihat selengkapnya