Muara Cinta di Titik Semula

Faiz el Faza
Chapter #27

Tahu tapi Tak Mengenal

Setelah dua minggu berlalu, hari ini hari pertamanya kuliah. Waktu masih sangat pagi. Ia duduk sendiri. Tidak ada siapapun di sana. Belum ada yang berangkat. Pintu kantor terbuka, sepertinya ada orang di dalam. Namun, ia tidak mendapati orang kantor yang melakukan aktivitas di sana. Mungkin hanya Pak Kebun yang sedang bersih-bersih. Ia datang terlalu pagi. Tidak ada penyesalan datang terlalu awal.

Udara pagi itu teramat segar. Suasana pagi kampus alam pedesaan. Nyaman rasanya menghirup udara yang jauh dari polusi. Meski duduk sendirian, ia ditemani oleh sebuah buku. Masih sama seperti di pesantren dulu, tidak mau menyia-nyiakan waktu. Meski badan diam, pikiran harus tetap berjalan, sebagai rasa tanda syukur kepada Allah atas rahmat berupa panca indra yang sehat. Syukur mata disampaikan melalui membaca.

Setelah paragraf-paragraf dalam buku yang dibaca sudah banyak terlampaui. Ia mendengar suara langkah kaki. Bunyi langkah kaki itu begitu halus di telinga. Ia berhenti membaca. Menoleh perlahan ke arah kiri, ke arah suara tersebut. Dilihatnya seorang perempuan yang sedang berjalan ke arahnya. Ia melihat perempuan itu berjalan dengan wajah setengah menunduk, tampak malu-malu.

Semakin dekat. Wajah perempuan itu terangkat perlahan sampai terlihat sempurna. Wajah perempuan itu semakin jelas. Ia pun ingat wajah gadis itu. Kemarin saat OSPEK hari terakhir di kelas, ia melihat perempuan itu kemarin, duduk dengan tenang di bangku paling depan, di samping pintu masuk dan jendela. Tenang dan tersenyum.

Tetapi, siapakah namanya? Ia masih belum tahu karena pada saat itu ia tidak berkenalan seperti yang lain dan perempuan itu sendiri juga tidak berkenal-kenalan seperti dirinya. Ia memang jarang berbicara. Ketika berkumpul di kelas saat itu, yang lainnya sedang asyik berkenalan satu sama lain, ia hanya berkenalan dengan beberapa orang saja, termasuk yang ada di sampingnya, Hasyim.

“Assalamualaikum,” sapa perempuan itu.

“Waalaikumsalam,” jawabnya.

Perempuan itu duduk di sampingnya. Ada jarak sekitar setengah 64 cm antara ia dan perempuan itu. Bukunya masih terbuka. Namun, ia tidak membacanya. Ia duduk dengan pandangan ke arah jendela ruang kelas yang akan di tempatinya. Sementara itu, perempuan di sampingnya itu duduk dengan tertunduk. Ia bingung mau mengajak berbicara atau tidak. Ia melirik ke arah perempuan itu, tampak perempuan itu terdiam tenang-tenang.

Perempuan itu menampakkan gadis pemalu. “Assalamualaikum,” suara perempuan itu terlintas kembali dalam penaknya. Suara itu terdengar seperti suara gadis kecil, gadis SMP. Ia tidak tahu mengapa suara indah itu tiba-tiba hadir dalam diamnya. Ia merasa suara itu teramat merdu. Suara seruling yang ditiupkan di sebuah lembah sunyi.

Lihat selengkapnya