Suasana malam hari yang sunyi ditemani suara mesin jahit dan suara radio yang memutar lagu membuat malam makin terasa syahdu. Di antara beberapa deret toko lainnya, hanya toko jahit yang berada di ujung jalan dekat pertigaan yang masih buka sampai sekarang. Si pemiliknya adalah seorang wanita cantik berkulit putih dan bermata sipit. Jika tersenyum, matanya akan membentuk bulan sabit yang cantik. Anjani Gantari, nama si pemilik toko. Anjani hidup sebatang kara di kota ini. Dia yatim piatu sejak usia 15 tahun. Anjani bisa menjalani hari-harinya yang berat untuk anak seusianya dengan memanfaatkan kepandaiannya dalam bidang menjahit. Hingga sekarang, dia bisa membuka toko jahit miliknya sendiri.
Anjani tersenyum lebar saat menatap hasil jahitannya. Baju ini dipesan khusus oleh sahabat satu-satunya yang dia punya. Jadi, Anjani harus membuatnya istimewa. Nama sahabatnya Lariska Aruna. Anjani biasa memanggilnya dengan nama Aruna.
Saat tengah merapikan benang sisa jahitan pada baju, Anjani dikagetkan dengan suara riuh yang berada di luar tokonya. Jantung Anjani berdetak kencang saat beberapa orang masuk ke dalam tokonya dengan paksa. Anjani yang melihat itu langsung bangkit dari duduknya.
"Siapa kalian?" Anjani memberanikan dirinya untuk bertanya meski dengan suara yang bergetar.
Anjani melihat ada sekitar enam orang asing yang ada di dalam tokonya. Mereka mengabaikan pertanyaan Anjani dan mengobrak-abrik barang-barang Anjani. Kain-kain dan manik-manik yang merupakan bahan untuk membuat pakaian dibawa keluar begitu saja dan dibakar oleh tiga orang, sementara tiga lainnya masih berada di dalam toko.
Anjani berteriak histeris melihat tokonya yang hancur. "Kalian mau apa?!" katanya.
"Orang sepertimu tidak layak membuka usaha di sini," jawab seorang pria bertubuh kurus dan berambut panjang sebahu.
"Toko ini milik pribumi!" sahut pria lainnya yang mengenakan kaos polos warna hitam dan celana jeans.
Salah seorang pria lainnya yang mengenakan kemeja warna biru dengan celana jeans mulai mengayunkan balok kayu yang dia bawa dan memukulkannya mesin jahit milik Anjani hingga remuk.
Anjani menutup telinganya. Dirinya sudah diselimutii rasa ketakukan yang besar. Anjani langsung teringat pada berita yang tadi pagi didengarnya jika banyak masa yang melakukan penjarahan di beberapa toko. Dan kini toko jahit milik Anjani menjadi salah satu korbannya. Anjani berdiri di pojok ruangan dengan air mata yang sudah mengalir di kedua pipinya.
"Tidak! Jangan mendekat!" seru Anjani saat pria bertubuh kurus dan berambut panjang sebahu tadi mendekat ke arahnya.
Pria itu menyeringai menatap Anjani. "Malam ini, kita gilir gadis ini."
Anjani menggeleng berontak. Dirinya sungguh takut. "Jangan! Saya mohon lepaskan saya!"
Anjani berontak saat pria itu mencekal kedua tangan Anjani dan mendorong Anjani hingga gadis itu terbentur kursi kayu dan terjembab di lantai toko yang dingin. Dahi Anjani berdarah karena membentur ujung kursi kayu yang lancip.
"Saya tidak punya salah pada kalian. Tolong lepaskan saya!"
Ucapan Anjani hanya dianggap angin lalu saja oleh tiga pria itu. Pria kurus berambut sebahu tadi kembali mendekat ke arah Anjani. Tubuh Anjani mundur dan menabrak tembok. Anjani sudah tidak bisa lari kemana-mana lagi.