Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #3

Dalam Diam


 

Malam di jalan-jalan kecil Dusun Muaramerah bagai jalan menuju lorong gua batu. Sunyi dan gelap. Begitu sejak dulu. Sejak peristiwa kelam yang menenggelamkan rasa kemanusiaan di negeri ini. Entah sampai kapan mereka yang hidup di dusun itu merasa tak ubahnya hidup di alam barzah. Masih beruntung bila ada bulan atau saat langit cerah tanpa mendung, penuh bintang bertaburan. Rimbun dedaunan pohon bakau bagai deret raksasa hitam yang meliuk-liukkan tubuhnya. Hamparan ilalang hanya kegelapan yang purba. Semua terasa sunyi.

Usai banjir menenggelamkan Warji dan hamparan tambak, dusun itu kian jadi senyap. Bahkan terasa lebih mencekam. Usai maghrib lewat, tak ada seorangpun yang mau duduk-duduk di teras-teras rumahnya. Apalagi sejak sore hari angin bertiup kencang membawa hawa dingin dari pantai.

Duka masih mengoyak perasaan Komariah. Semua rasa bagai lenyap ditelan kedukaan. Sejak kepergian Warji, Komariah telah kehilangan air matanya. Jiwanya melayang bagai sepotong kapas yang terbawa angin. Air mata sudah tak lagi bisa mencurahkan perasaannya. Kini dia hanya bisa berkidung, menyanyikan jiwanya. Sembari berbaring di sisi tubuh suaminya, atau kadang sembari menatap keluar dari balik jendela. Suaranya amat pelan, halus, dan begitu sunyi.

Sesaat Komariah menghentikan nyanyiannya. Dari dalam rumah, sedari tadi Somari turut larut dalam nyanyian Komariah. Perasaannya terbawa dalam kesunyian yang menyelimuti kedukaan. Di luar, gelap telah sempurna membungkus malam. Dari kejauhan debur ombak sayup terdengar. Komariah kembali lagi berkidung dengan tempo dan nada yang sama. Halus, pelan, dan begitu senyap.


Jeriting panandhang oh Gustiku

Suworo tangis kang kelayung

Trenyuh sak jroning ati

Angadhepi pacoban iki 

Manungsa tan bisa anyelaki

Pepati kang nggegirisi

Titah tanpa daya

Angadepi pacoban iki

Aduh Gusti amung pasrah ing pesthi

Aku percoyo langit tan mendhung

Ilang tangis kang melung-melung

Gusti mesthi bakal mungkasi

Surya sumunar hamadangi

Urip kang sayekti Jagad anyar kang dumadi.

 

Nyanyian itu merayap perlahan menjalari malam di Dusun Muaramerah. Terbawa angin dingin yang menyelinap di sela-sela dinding papan rumah-rumah.

“Komariah sedang menangis,” ujar seorang wanita dari dalam rumahnya.

“Iya, Kasihan. Hidupnya selalu dirundung kesedihan,” jawab lelakinya yang tengah duduk di atas lincak. Tangannya dihangatkan pada cangkir kopi yang dipeganginya. Telinganya dipasang tajam menyerap suara sayup-sayup nyanyian duka Komariah.

Komariah masih melantunkan nyanyian dukanya. Meskipun pelan namun terdengar cukup jelas. Somari yang sejak tadi tertegun, kini melangkahkan kaki menuju ke rumah Komariah. Sarungnya dia naikkan di punggung. Dalam gelap Somari melangkah sembari memasang tajam kedua telinganya. Nyanyian Komariah makin terdengar jelas. Sesampai di depan pintu rumah Komariah, Somari tak segera mengetuknya. Dia berdiam diri. Membiarkan Komariah menyelesaikan nyanyiannya.

Sesaat senyap. Komariah tak lagi terdengar suaranya. Angin dari pantai berhembus makin kencang. Komariah membetulkan selimut yang menutupi tubuh suaminya.

“Yu!”

Suara Somari terdengar jelas di telinga Komariah. Segera saja dia turun dari amben menuju pintu depan dan dibukanya sedikit. Sebagian wajah Somari nampak oleh cahaya remang lampu dari dalam rumah Komariah. Wajahnya dingin menatap Komariah.

“Sudah mulai larut. Berhentilah menyanyi.”

Komariah tertunduk lalu perlahan pintu dibukanya lebih lebar. Somari melangkah masuk. Dilihat tubuh Sobari yang tak berdaya di balik selimut. Angin kencang memasuki ruang depan rumah Komariah. Pintu segera ditutup rapat-rapat. Somari melangkah lagi, duduk di sebelah tubuh kakaknya. Wajah Sobari makin terasa pucat dan makin kurus. Napasnya makin lemah, matanya masih juga belum mau tertutup. Tak pernah pula bisa berkedip.

“Kang Sobari sudah disuapi, Yu?” tanya Somari menyibak senyap yang muncul di dalam ruang remang-remang rumah kakaknya.

“Sudah. Cuma pakai pisang,” jawab Komariah dengan suara teramat pelan. Dia duduk di kursi yang ada di sisi amben.

“Tak apa-apa. Yang penting ada sesuatu yang masuk di perutnya.”

“Iya, Som.”

Komariah hanya terdiam saat Somari memegang pundaknya. Tak pernah rasanya selama ini Somari menunjukkan sikap seperti malam itu. Baru malam itu rasanya Somari memegang pundaknya. Entah bagaimana, Komariah merasakan Somari lebih dari biasanya. Mungkin saja karena jiwanya yang sedang ada dalam keterpurukan.

Sampeyan tak usah begitu takut menghadapi hidup. Aku janji akan tetap menemani sampeyan.”

Komariah kian tertunduk mendengar kata-kata dari Somari. Isaknya mulai terdengar lagi.

“Kalau saja kakakku sudah tak lagi bernapas, aku mau hidup denganmu, Yu. Aku yang nanti akan menjagamu.”

Komariah bagai tak sadar begitu saja bersimpuh di pangkuan Somari. Menghabiskan air matanya tumpah di paha Somari.

“Kadang aku pikir lebih baik menyusul Warji, Som.”

“Jangan begitu. Apapun yang terjadi, hidup harus terus berjalan. Memang tak gampang, tapi harus dihadapi.”

Somari mengelus rambut Komariah dengan seribu rasa yang mungkin selama ini dia pendam. Kematian Warji membuat Somari makin larut dalam duka dan makin melekatkan perasaan iba pada Komariah. Bahkan lebih dari iba.

“Jadi manusia harus yang kuat, Yu. Jangan mudah kalah oleh keadaan. Hanya orang-orang yang kuat saja yang bisa bertahan hidup.”

Rambut Komariah dielusnya lagi. Elusan tangan Somari bagai menyengat ke seluruh tubuh Komariah. Membuatnya larut dalam kepasrahan. Tangan Komariah begitu saja memeluk Somari. Mendekapnya dengan erat, dengan isak tangis yang makin menderai. Seperti derai rimbun daun bakau yang diterpa angin jalang. Somari membiarkan Komariah yang berlutu di lantai memeluk pinggangnya, dengan pelukan berpasarah.

“Bantu aku agar kuat menghadapi hidup, Som.”

“Iya, Yu.”

“Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Buat menjaga dan merawat kakakmu saja bagiku itu sudah berat. Apalagi harus menanggung hutang dan menghadapi Juragan Kasim.”

“Aku tahu semuanya. Aku juga sama seperti sampeyan. Masih punya hutang sama Juragan Kasim. Bahkan seluruh orang dusun Muaramerah yang menggarap tambaknya. Semuanya punya tanggungan dengan Juragan Kasim.”

“Tapi kamu dan mereka punya tenaga untuk bisa kembali menggarap tambak. Aku perempuan sendirian, Som. Terlalu berat kalau harus menggarap tambak.”

“Ssssttt...sudah. Jangan mengeluh,” ujar Somari sembari menurunkan tubuhnya pada lantai. Kini mereka duduk bersandar pada amben dengan pikiran yang tak sama. Sesaat saling berdiam diri.

“Pikiranku masih terbayang-bayang Warji, Som.”

“Iya. Masih teringat saat dia merengek pergi ke sekolah.”

Mata Komariah kembali sembab, lalu pecah lagi tangisnya. Somari tak tahan melihat Komariah. Tangan somari mendekap Komariah.

“Padaku juga dia merengek, aku sudah menahannya untuk pergi ke sekolah. Tapi tak tahunya dia nekat pergi.” Komariah tak kuasa menahan perasaan sedihnya dan begitu saja merebahkan tubuhnya pada Somari.

Lihat selengkapnya