Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #4

4 Hidup yang Tak Pernah Dimengerti


 

Pada rimbun daun pohon jambu seekor anak burung gelisah di sarangnya. Menggapai-gapai sesuatu, seperti merasa kelaparan dan sendiri. Hujan baru saja turun membasahi dedaunan, sangkar dari pucuk-pucuk daun kering, dan tubuh anak burung itu yang belum berbulu. Dingin merayap dan lapar membuat tubuh anak burung itu bergemetar. Suaranya teramat lirih saat memanggil-panggil induknya. Atau siapa saja. Suara yang mudah lenyap oleh desah dedaunan. Angin tak henti-hentinya meliuk-liukkan dahan pepohonan. Awan masih berwajah muram saat senja luruh di kota kecil itu. Jalanan disekap deru mobil dan motor. Semua orang di jalanan bagai memburu waktu dan impiannya. Semua ingin segera sampai pada tujuan.

Siapa yang bakal mendengar jerit kedinginan dan kelaparan anak burung itu? Memang terasa berlebihan kalau harus memaksa semua orang di atas jalanan agar peduli pada seekor burung yang belum berbulu di sarang yang basah oleh guyuran hujan itu. Apa pedulinya? Bukankah setiap makhluk punya cara sendiri untuk menghadapi ancaman hidupnya. Dan semua tergantung pada daya hidup untuk menghadapinya. Jadi kenapa harus memaksa makhluk lain untuk terlibat dalam hidup sesama makhluk lain. Seolah yang kuat sajalah yang disepersilakan hidup oleh alam. Dan yang lemah ya harus kalah. Mau bilang apa kalau memang sudah begitu alam membentuknya. Begitukah seharusnya? Ah, susah juga buat dimengerti. Biarlah hidup berjalan saja dengan seribu satu keadaan yang tak pernah diketahuinya. Bahkan saat dijalaninya.

Hingga senja yang makin kelam, pohon jambu yang tumbuh di halaman depan sebuah rumah terus dikoyak angin. Pohonnya yang sudah cukup tua terasa berat menahan terpaan angin. Padahal pada beberapa bagian batangnya telah lapuk kulitnya. Ada juga yang telah terkelupas nyaris rapuh. Terpaan angin memaksa dahan dan ujung ranting itu meliuk-liuk. Hingga sarang burung yang ada di tengah rimbun daunnya pun jatuh di gundukan akar pohon jambu itu. Tak lama kemudian, tangan seorang lelaki muda memungut sarang itu usai memarkir mobil di depan rumahnya. Lalu hujan kembali menderas bercampur angin yang menderai. Lelaki muda itu segera saja membawa sarang burung itu masuk ke dalam rumahnya yang masih gelap. Rumah tua yang tak begitu luas.

Usai menyalakan lampu-lampu di dalam rumahnya, lelaki muda itu meletakkan sarang burung itu di meja makan. Didengarnya suara lirih dari anak burung itu. Bergegas dia melepas sepatu ket dan melempar tas rangselnya di kursi. Lalu dia mengamati lagi tubuh dan bunyi lirih dari mulut anak burung itu. Dilihat tubuh anak burung itu yang bergetar. Didengar suaranya yang mengharap sesuatu yang bisa membuatnya nyaman. 

Lelaki muda itu bergegas membuka lemari makan. Mencari makanan apa saja yang bisa diberikan buat anak burung itu. Dia temukan sebungkus roti tawar. Diambilnya roti itu dan diambilnya satu sisir. Lalu dia duduk lagi di depan sarang burung itu. Roti tawar yang sudah ada di tangannya segera dia kunyah lalu diambilah kunyahan roti tawar itu di mulutnya. Tangan yang satu mengangkat anak burung dengan amat hati hati. Dia berusaha membuka mulut anak burung itu dengan hati-hati pula. Saat sudah bisa membuka mulut anak burung itu, dia ambil kunyahan roti di mulutnya dan dia suapkan pada mulut anak burung itu. Tampak anak burung itu menelan kunyahan roti. Lalu diulanginya lagi beberapa suapan. Hingga anak burung itu kini terlihat lebih nyaman. Lelaki muda itu tersenyum melihat anak burung itu, kemudian meraih beberapa lembar tissue di depannya. Tissue itu ditatanya selembar demi selembar dalam sarang. Berharap akan ada kehangatan yang bisa dirasakan anak burung itu. Baru anak burung itu dia letakkan kembali di dalam sarangnya. Anak burung itu kini sudah tak lagi menggigil.

Dia membawa sarang burung itu ke dalam kamarnya. Diletakkannya sarang itu di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, persis di bawah kap lampu yang baru saja dinyalakan. Anak burung itu terlihat tenang menikmati kehangatan. Bagai terlepas dari ancaman; mati disekap dingin dan dikoyak angin dan hujan, juga terkaman wirok, kucing, atau anjing jalanan.

Usai melepas jam tangan, handfone, dompet, baju dan celana panjangnya, lelaki muda itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur di kamarnya. Menyelami kepenatan urusan kerjaan sebagai wartawan lepas di beberapa media online. Hari-hari ini dia bagai tak bisa lepas dari kasus yang tengah ditelusuri. Makin dalam dia meng-investigasi kasus itu, makin berat persoalan dan risiko yang bakal dia dihadapi. Namun dia tak peduli dengan semuanya itu. Dia sadar itu jalan yang berat dan tak bisa dianggap remeh. Aku tak pernah takut melawan siapapun, kata dia dalam hati. Biar saja apa yang dilakukannya tetap berjalan. Seperti air sungai saja, saat terbendung dia tetap mencari celah agar tetap mengalir lalu tak terasa sudah sampai di muara.

Lelaki muda itu Hikam namanya. Pengalaman hidupnyalah yang membuat dia lebih memilih jadi penulis dan wartawan lepas di beberapa media. Itu memang pilihan yang sudah diinginkannya sejak dia kuliah. Baginya soal uang bukan satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup. Idealisme kebebasan pers kampus saat dia kuliah masih begitu lekat; kebenaran harus bisa dikabarkan. Sepahit apapaun kebenaran itu. Baginya, menjadi penulis dan wartawan lebih memberi makna bagi hidupnya.

Kini dia merasa harus mandi. Tubuhnya masih bau asam dan sisa keringat masih lengket di kulitnya. Malas benar dia bangkit dari tempat tidur. Dia memaksa melangkah lalu diraihnya handuk yang tergantung di kastok. Langkah lelah membawanya ke kamar mandi. Dia menyalakan lampu di kamar mandi kemudian melepas semua pakaiannya. Saat menatap wajah di cermin kamar mandi ada perasaan sepi yang tiba-tiba merayapinya. Ada banyak pikiran yang membuatnya resah. Dengan tajam dia menatap titik pandang matanya pada cermin itu. Banyak wajah yang tiba-tiba terbayang dalam otaknya. Wajah-wajah yang menyekap pikiran dan perasaannya. Dia mendenguskan nafasnya. Kemudian tubuhnya merasakan dingin dari air yang mengguyur seluruh tubuhnya.

Di luar rumah sebuah sepeda motor yang dinaiki dua orang berjaket dan memakai masker berhenti di depan pintu gerbang rumah pemuda itu. Hujan masih cukup deras dan lampu jalanan mulai terang menyala. Seseorang yang membonceng turun dari sepeda motor dengan membawa sebuah bungkusan memasuki halaman rumah anak muda itu. Yang membawa motor tetap saja duduk di atas jok motornya. Dia nampak tenang sembari sesekali menengok ke belakang dan mengamati keadaan sekeliling. Yang membawa bungkusan itu kini sudah berdiri di depan pintu rumah. Diletakkan bungkusan yang dibawanya di atas lantai persis di depan pintu. Diketuknya pintu itu dengan keras.

Hikam terperanjat saat mendengar suara ketukan keras dari arah pintu depan. Segera saja dia bersihkan busa sabun di tubuhnya dan dia raih handuk untuk mengelap sisa guyuran air. Dikenakannya celana pendek lalu dia bergegas melangkah keluar kamar mandi menuju ke ruang depan. Matanya sempatk melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 19.37.

“Siapa?” tanya Hikam agak keras.

Namun tak ada suara jawaban dari luar rumah. Hikam melangkah lagi mendekat ke pintu. Lalu disibaknya tirai jendela. Tak ada sesorang di depan rumahnya. Teras ramah nampak sepi. Pintupun dibuka. Dia terkejut saat tahu ada bungkusan di lantai. Lalu diambilnya bungkusan itu. Pada bungkus itu tertulis sebuah pesan yang ditulis cukup jelas; Ambil uang ini dan hentikan investigasi-mu tentang kasus tukar guling tanah bokong semar atau keselamatanmu jadi taruhan.

Sesaat Hikam mengerutkan kening. Berpikir tentang orang-orang dan kasus yang sedang dia dalami. Aku tidak akan pernah takut berhadapan dengan siapapun. Tapi aku juga tak mau konyol, kata Hikam dalam hatinya. Diperhatkannya lagi halaman rumah dan jalanan yang masih ada sisa gerimis. Semua nampak biasa-biasa saja. Tak ada sesuatu yang perlu diwaspadai. Lalu dia menutup pintu depan dan mematikan lampu di teras dan lampu di ruang tamu.

Dia letakkan bungkusan itu dekat sarang burung. Dilihatnya anak burung itu yang tidur dalam kehangatan. Dia ambil handfone lalu dia hubungi Amran lewat pesan, menanyakan keberadaan Amran. Tak lama kemudian Amran menjawab kalau dia sedang ada di rumah. Anak muda itu minta supaya Amran datang ke rumahnya. Dia kirim juga foto bungkusan itu. Amran menjawab, Gila! Oke aku datang. Kemudian dia mengambil tas rangselnya dan diambilnya laptop. Diletakkannya laptop tiu dekat bungkusan yang baru saja dia terima. Lalu dia nyalakan laptop itu.

Dicarinya folder yang berisi file data-data yang dia kumpulkan dari hasil investigasi kasus tukar guling tanah untuk jalan lingkar bokong semar. Kemudian dia buka handfone. Dibukanya foto-foto pertemuan dan pembahasan penentuan harga jual tanah di ruang kerja Walikota. Dibukanya pula file wawancara dari para nara sumber yang ditemuinya tadi siang. Mereka para saksi dan beberapa orang yang bisa jadi terlibat dalam kasus itu. File-file itu kemudian dia pindahkan ke folder di laptop. Setelah semua file dipindahkan ke folder di laptop, anak muda itu menyalakan printer yang ada di sebelah mejanya. Dia sambungkan kabel data pada printer dan mulai mem-print semua data yang ada pada folder laptop. Satu demi satu data di folder itu pun mulai tercetak. Sembari mem-print, dia memasukkan flashdisc ke laptopnya. Dia pindahkan file audio dan video ke dalam flashdisc itu.

Mesin printer masih mencetak lembar demi lembar. Dan file audio dan video sudah dia copy di flasdisch. Kemduian dia mulai membuka email pada laptop. Dia krirm semua file dalam folder kasus itu kepada email Amran. Entahlah apa yang membuatnya tak memiliki sedikitpun rasa takut dalam mengungkap kasus itu. Padahal yang dia hadapi adalah para pejabat dan orang-orang penting di kotanya. Bahkan orang dekat Bupati terindikasi kuat terlibat. Yang tak diduganya, salah satu yang diduga kuat sebagai kunci kasus itu adalah Mulyanto, Kepala Desanya. Mulyanto pernah terang-terangan mengusir anak muda itu di Balai Desa saat anak muda itu hendak meminta keterangan. Bahkan melarang dia dekat dengan Winda, anak gadisnya yang dulu satu kampus dengannya.

Selama ini memang Hikam tak pernah membicarakan perihal keterlibatan ayah Winda dalam kasus itu. Dia sengaja menutup-nutupi hal itu. Namun sehari yang lalau, Winda rupanya penasaran dan menanyakan sikap ayahnya kepada anak muda itu. Winda penasaran karena tiba-tiba dia dilarang keras oleh ayahnya untuk berhubungan dengan Hikam. Tapi dia masih tetap tak mau membuka soal keterlibatan ayahnya. Ayahnya juga tak memberi alasan pada Winda kenapa dia dilarang dekat dengan Hikam.

“Ya sudah, turuti saja apa maunya Ayahmu itu,” kata Hikam pada Winda.

“Kok kamu bilang begitu?”

“Memang kamu mau melawan orang tua?”

“Bukan melawan. Tapi memberi pengertian.”

“Apa bedanya melawan dan memberi pengertian? Sama saja itu. Yang ada itu cuma menuruti atau menolak. Entah dengan alasan apapun.”

“Oke. Tapi itu tergantung pada kamu.”

“Maksudmu?”

“Kalau kamu berani aku akan ambil risiko itu.”

“Ah. Aku belum punya keberanian untuk itu, Win. Kupikir nantinya terlalu berat untuk dilalui.”

“Ah. Cemen!” ujar Winda sambil melangkah pergi. Sepertinya dia kecewa pada anak Hikam.

Itu kata-kata terakhir yang dia ingat dari Winda. Hikam tersadar dari lamunannya saat pintu depan diketuk dari luar rumah. Suara ketukannya tak seperti ketukan Amran bila dia datang ke rumahnya. Handfon-nya berdering, tapi bukan dari nomor yang dikenalnya. Anak muda itu makin cemas. Akhirnya dia kenakan celana dan kaos. Lalu dia kemasi hasil cetakan printer dan dia masukkan ke tas. Dia matikan laptop dan dimasukkan pula ke dalam tasnya.

Di luar rumah Amran terheran saat melihat ada mobil terparkir di pinggir jalan tepat di depan pintu pagar halaman rumah anak muda itu. Amran perlahan menjalankan motor melintasi rumah anak muda itu. Matanya tajam mengamati beberapa orang yang berdiri di depan pintu rumah anak muda itu. Setelah melintasi mobil yang teraparkir itu, Amran membelokkan motornya dan kembali melintasi rumah anak muda itu. Dia amat penasaran dengan beberapa orang yang sedang mengetuk pintu rumah anak muda itu. Kali ini dia lebih tajam lagi mengamati orang-orang yang dikenalnya itu. Firasatnya mendadak jadi tak enak. Lalu dia menjauh dari rumah anak muda itu. Tak jauh dari rumah itu, Amran segera menghentikan motornya. Dia mengambil handfon-nya lalu dia hubungi Hikam. Hikampun mengangkatnya.

“Kam. Ada empat lima orang di depan rumahmu. Siapa mereka?”

“Aku tak tahu.”

“Aku punya firasat tak baik. Lebih baik kau tak usah membuka pintu. Atau kau pergi saja lewat pintu belakang. Nanti aku tunggu di ujung gang.”

“Oke. Tunggu aku di ujung gang!”

 Pintu kembali diketuk. Kali ini lebih keras. Mungkin pakai tendangan kaki. Hikam makain yakin kalau yang datang bukan orang baik-baik. Dia segera mengenekan sepatu dan jaketnya. Dia ambil tas dan handfon-nya. Dia matikan lampu kamarnya. Dalam gelap dia meraba-raba tembok menuju ke pintu belakang rumah. Dibukanya pintu belakang dengan perlahan lalu dia keluar rumah dengan langkah berjingkat. Saat hendak berlari, dia sempat mendengar suara keras dari arah ruang tamu. Namun dia sudah tidak perduli lagi. Dia terus berjalan dengan setengah berlari hingga ke ujung gang. Di depan gang Amran sudah menunggu di atas motornya.

“Cepat, Bro!”

“Ya.”

Hikam melompat ke atas jok motor. Dia nampak cemas. Dilihatnya dua orang muncul dari ujung gang hendak mengejarnya. Hikam nyaris tertangkap dan Amranpun segera membawa motornya dengan kencang menembus jalanan yang masih diguyur hujan gerimis. Menyelip mobil-mobil yang ada di depannya.

“Bro! Kau sekarang harus lebih hati-hati!”

“Ya. Aku tahu. Kita mau ke mana sekarang?”

“Ke kontrakanku.”

“Sip.”

Lihat selengkapnya