Muaramerah

Ubaidillah
Chapter #6

6 Hidup yang Dilenyapkan


 

Pagi ini Dusun Muaramerah masih pada nada yang sama; sepi dan sunyi. Hanya kicau burung-burung yang mengisi ruang sepi dari atas pohon-pohon bakau dan pohon mahoni tua yang tumbuh di ujung dusun, menyambut matahari yang mulai menebar kehangatan. Pagi ini benar-benar terasa sepi, tanpa terdengar bunyi debur ombak di pantai.

Hikam termangu di depan rumah, saat duduk sendiri merasakan pagi yang sudah lama tak ditemui. Desau angin lembut bagai sunyi yang mengisi relung hati Hikam. Sapuan angin yang lembut membuat tubuhnya bagai menemukan hidup yang sudah lama hilang. Disandarkan punggungnya pada dinding kayu, meluruskan lututnya sembari merasakan lelah yang telah menjalar di seluruh tubuhnya. Namun sebuah suara membuatnya memaksa dia harus terjaga.

“Mas! Mbah Kus ada?” Suara memanggil dari seorang perempuan membuat Hikam terperanjat.

Sampeyan siapa?” tanya Komariah lagi.

“E....saya Hikam. Cucunya Mbah Kus,” jawab Hikam terbata-bata dan amat pelan.

“Apa?” tanya perempuan bertambah heran. Pagi itu Komariah sedang lewat dengan membawa ember dan bubu dari tambak. Dia hendak pulang ke rumah dan melewat jalan kecil itu. Setiap pagi memang dia melewati jalan itu untuk mengambil bubu-bubu di tambaknya.

“Saya baru nyampai dusun ini pagi-pagi tadi.”

“Oh. Jadi Mas itu anaknya siapa?” tanya Komariah lebih penasaran lagi.

“Emak saya Rumaenah. Dulu kami tinggal bersama di sini.”

“Oh, Yu Rumaenah. Saya tahu orangnya. Tapi sudah agak lama saya tidak melihatnya lagi.”

“Mbak pasti tahu atau pernah mendengar tentang Emak saya.” Hikam seperti mendadak mendesak Komariah yang tiba-tiba saja jadi bungung. “Pernah tahu, kan?”

“E... Begini saja, Mas. Bagaimana kalau saya pulang dulu. Karena saya harus segera menjual udang-udang ini.” Jawab Komaraiha sembari menunjukkan udang di dalam ember.

“Bagaimana kalau aku ikut?”

“E... boleh.”

“Tapi nanti malah bikin repot Mbaknya.”

“Tidak. Kalau mau ikut sekalian, ayo!”

Komariah mengangkat ember dan bubu-bubu yang tadi dia letakkan di tanah. Dia agak kesusahan. Melihat Komariah yang kerepotan, Hikam bergegas meraih dan mengangkat ember berisi udang, ikan, dan kepiting yang sudah diikat kaki-kakinya dengan tali plastik.

“Tidak usah, Mas. Biar saya saja yang bawa.”

“Tidak apa-apa, Mbak.”

“Kotor, lho.”

“Tidak apa-apa.!”

“Ya sudah.” Komariah berjalan lebih dulu. Hikam mengikutinya.

“Jadi yang asli orang sini suami Mbak yah?”

“Iya, benar.”

“Siapa nama suami Mbak?”

“Kang Sobari.”

“Kang Sobari kakaknya Somari?”

“Iya, benar. Kok kamu tahu?” Komariah menghentikan langkahnya, menatap wajah Hikam dengan rasa penasaran.

“Saya dulu teman akrabnya Somari.”

“Walah... Jadi kamu teman kecilnya Somari?”

“Iya. Dulu hampir setiap hari kami bersama-sama.”

“Oh.” Komariah namapak senang.

“Orangnya di mana sekarang?”

“Ada. Di rumah. Rumahku bersebelahan dengan rumah Somari.”

Komariah berjalan lagi menyusuri jalan kecil yang sudah mulai terang oleh terpaaan matahari. Hikam mulai merasakan lagi suasana Dusun Muaramerah. Udara yang mulai terasa hangat. Juga kesenyapan saat pohon-pohon terdiam. Satu dua rumah mulai dia lewati. Di sepanjang jalan Hikam mencoba mengingat-ingat siapa-siapa yang dulu menghuni rumah-rumah itu. Sampai di depan rumah Somari, Hikam menghentikan langkahnya. Komariah melangkah ke teras. Di depan pintu Komariah sedikit terperanjat melihat pintu rumah Somari yag tergembok.Komariah berpikir kalau Somari sedang ke tambak.

“Mas Hikam duduk dulu di sini. Saya bawa masuk dulu bubu ini.”

“Iya, Mbak. Terimakasih.”

Komariah meminta ember yang dibawa Hikam lalu membawa bubu dan ember hitam menuju rumahnya. Dia letakkan ember dan bubu-bubu di teras rumahnya. Bergegas dia masuk rumah sembari membawa Ember hitam.

Hikam menuruti Komariah, berjalan menuju teras rumah Somari, lalu duduk di lincak. Hikam tak henti-hentinya melihat dan meraskan sesuatu yang dulu pernah dilakukan bersama Somari di rumah itu; pintu yang digembok dari luar, jendela yang masih tertutup, dinding dari papan, lantai tanah di teras, halaman, jalan, pohon-pohon, angin, suara-suara, dan semuanya. Semua bagai meriuhkan ingatannya. Namun yang dia ingat, dulu belum ada rumah Komariah.

Tak lama kemudian Komariah keluar berjalan menuju teras rumah Somari. Bajunya sudah berganti daster dan bibirnya sudah terpoles gincu warna merah.

“Agak lama menunggu ya, Mas Hikam.”

“Tidak apa-apa, Mbak.”

“Baju saya tadi kotor. Bau kepiting. Jadi harus mandi dulu.”

“Hehehe...”

“Biasanya pagi-pagi begini dia ke tambak mengambil bubu. Makanya pintu rumahnya digembok. Saya cari dia dulu, yah.” Komariah meninggalkan senyum manisnya pada Hikam sembari melangkah menyusuri jalan kecil yang menuju ke arah tambak.

Sesampainya di tambak, Komariah tak melihat batang hidung Somari. Beberapa orang yang ditemui di tambak juga bilang kalau sejak tadi tak melihat Somari.

“Rin...! Lihat Somari tidak?” tanya Komariah pada Kasirin yang sedang menebar pakan bandeng di tambaknya.

“Tidak tahu, Kom. Sejak pagi-pagi aku ke sini Somari tak terlihat.”

Mendengar jawaban Kasirin, Komariah makin bingung. Sudah sekian orang yang ditanyai, selalu bilang tak melihat Somari. Lalu dia berpikir untuk ke rumah Kusnali. Barangkali Somari sedang berada di rumah Kusnali. Komariahpun mempercepat langkah menuju ke rumah Kusnali. Dari jauh dia melihat Kusnali yang tak berbaju tengah duduk di teras rumahnya sambil membetulkan jaring dengan joran.

“Kang Kusnali!”

Kusnali kaget pagi-pagi ada perempuan yang memanggil dirinya dengan suara yang terdengar setengah berteriak. “Ada apa, Kom?”

“Lihat Somari tidak?”

“Lho, kok cari Somari?” Kusnalai malah berbalik tanya.

“Eh, ditanya kok malah tanya. Sampeyan lihat Somari apa tidak?”

“Memang Somari tidak bilang kamu?”

“Bilang apa?”

“Somari semalam diajak Jamiri berangkat melaut. Ikut kapal pure seine. Tadi malam langsung berangkat dengan Jamiri. Dia malah titip kunci rumah sama aku. Ini kuncinya.” Ujar Kusnali sembari menyerahkan kunci rumah Somari pada Komariah.

“Hah?! Komariah terbelalak matanya, seperti tak percaya Somari melaut tanpa lebih dulu bilang kepadanya. Sesaat Komariah jadi termenung.

“Kom. Kenapa?”

Komariah tak menyahut, hanya melangkah perlahan ke teras, lalu duduk di samping Kusnali.

“Harusnya memang dia bilang dulu sebelum pergi. Apalagi ikut kapal pure sein yang bisa sampai dua minggu lebih.”

“Itu yang aku tidak mengerti. Apa dia marah denganku? Kenapa yah?”

“Aku sendiri tidak tahu, Kom. Semalam dia tidak bilang apa-apa. Tapi sudahlah. Anggap saja dia tergesa-gesa, jadi tak sempat bilang ke kamu dulu.”

Lihat selengkapnya