Rhaen, 26 tahun. Mungkin memang masih muda, tetapi jiwa kepemimpinannya sudah terasah sejak kecil. Menjadi ketua kelas dan ketua OSIS semasa sekolah menjadi rutinitas bahkan kewajibannya. Alasannya cuma satu, ia tak ingin menjadi korban bullying. Teman-temannya sering kali mengejeknya, menanyakan bagaimana kehidupan di panti asuhan, apa Rhaen benar-benar tidak tahu siapa orang tuanya, atau di mana ia ditemukan dahulu? Tidak hanya ujaran di dunia nyata, bahkan juga dalam dunia maya. Sejak saat itu ia benci menjadi orang tertindas. Amarahnya ia lampiaskan dengan menjadi ketua di kelasnya, di sekolahnya. Ya, motivasinya hanya satu, agar ia bisa menghukum pelaku bullying, meski itu temannya sendiri. Agar tak ada yang bisa meremehkan dirinya lagi. Begitupun sekarang, menjadi polisi di unit cybercrime. Menumpas berbagai kejahatan dunia maya, termasuk kasus bullying. Namun, lagi dan lagi. Rhaen hampir mengalami hal yang paling dibencinya lagi. Maka, dengan nekat, ia bersikeras harus menjadi pemimpin Dark-9.
Xev dan Salvor sudah bersiap untuk membahas hasil otopsi Orien Runo. Raut muka Xev masih tidak bersahabat. Salvor menyadari hal itu. Namun, Rhaen tampaknya memang keras kepala.
“Bos apa laporanmu?” ucap Rhaen. Xev masih bergeming.
“Bos. Bossok!”
“Kurang ajar! Dasar bocah ingusan. Berani-beraninya sama senior!” hardik Xev.
“Apa boleh buat, terimalah itu sebagai panggilan barumu. Ayo sampaikan laporanmu sebagai ahli forensik.”
Dengan geram, Xev pun memaparkan hasil otopsi. “Di tubuh korban tidak ditemukan jejak pembunuhan. Luka di tulang belakang itu adalah kelainan pembuluh darah tulang belakang yang bisa pecah sewaktu-waktu. Untuk kondisi tubuh yang terlihat menua itu juga hal langka, karena dokter sudah melakukan banyak tes dan itu termasuk kasus autoimun langka yang dapat merusak jaringan elastin dan kolagen tubuh. Selanjutnya untuk sampel sidik jari di berbagai benda, semua adalah sidik jari korban. Lengkapnya silakan cek sendiri.”
“Bagaimana dengan chip holophone?”
“Tidak ada chip yang ditemukan. Korban selama ini memakai smartphone fisik.”
“Aneh sekali. Smartphone fisiknya juga tidak ada info yang terlalu penting.”
Salvor mencoba berpendapat. “Riwayat penyakit harusnya bisa kita lacak. Buku riwayat perjalanan itu bisa jadi kunci.”
“Oke aku akan coba akses riwayat korban.” Rhaen melancarkan aksinya menggali informasi korban dengan kemampuan yang dimilikinya.
“Aneh. Ini benar-benar aneh. Tidak ada data yang ditemukan.” ujar Rhaen dengan kecewa.
Salvor juga mengeluh. “Buku riwayat perjalanan ini juga tidak membantu apapun. Ini hanya daftar tempat wisata yang pernah dikunjungi. Tak ada nama rumah sakit satu pun.”
“Apa mungkin, korban pakai pengobatan tradisional?” seloroh Xev.
“Hei yang benar saja, Bossok? Zaman sekarang masih pakai yang tradisional?” sangkal Rhaen.
“Heh bocah ingusan. Tutup mulutmu!”
Rhaen masih menyimpan keyakinan bahwa ada pelaku pembunuhan, meskipun sejauh ini bukti-bukti yang ada tidak mengarah pada pelaku pembunuhan.