Mudita

I Gede Luwih
Chapter #9

9. Pengakuan

Muda yang membonceng Dita dengan motor sportnya tiba di gerbang pintu masuk rumahnya Dita. Dita langsung turun dari motor sportnya Muda untuk membuka pintu gerbang rumahnya karena tidak ada satpam yang menjaga rumahnya maupun tukang kebun yang bertugas. Muda mematikan motornya sembari membuka helm dan memperhatikan Dita yang tengah membuka pintu gerbang. Dita menoleh pada Muda dan coba sunggingkan senyum.

"Makasih...!"

Muda hanya mengangguk-angguk tanda jawaban pada Dita seakan anggukannya menerangkan sahutan ya sama-sama.

"Tapi, sorry ! Bukannya gue ngusir, lo mendingan langsung pulang aja karna udah sore juga..."

Muda agak meragukan keadaan Dita akan baik-baik saja.

"Kamu ga papa?"

" Lo tenang aja gue ga papa kok!" Dita menyahut dan berusaha lebih tegar sementara Muda masih mematung. Dita pelan-pelan melambaikan tangan dan memasuki garasi rumah dan perlahan menutup pintu gerbang sambil menatap sayu dan sesekali masih melambai pada Muda. Muda juga membalas lambaian tangan dari Dita sampai Dita tak terlihat lagi oleh tutupan pintu gerbang. Namun, Muda termangu sejenak dan memilih mematung depan pintu gerbang rumahnya Dita seolah enggan beranjak pergi dari sana. Sementara Dita melangkah gontai memasuki rumahnya.

Papanya Dita dengan wajah geram berdiri dan mondar-mandir di ruang tamu. Sedangkan Mamanya Dita duduk di sofa menampakan raut wajah kesedihan dengan kekhawatiran. Dita yang perlahan memasuki rumahnya sembari melewati ruang tamu begitu kaget karena mendapati Papanya berdiri telah menunggunya dengan muka merah padam dan Mamanya terduduk begitu sendu. Dita merasa bahwa mereka sudah tahu semuanya dan akan menghakiminya.

Muda yang enggan meninggalkan rumahnya Dita yang terpaku sedari tadi di depan pintu gerbang memilih turun dari motornya sembari melangkah dan mengintip dari celah pintu gerbang keadaan di halaman rumahnya Dita. Muda perlahan dan sangat hati-hati berusaha membuka pintu gerbang dan menutupnya kembali agar tak ada suara yang dihasilkan oleh pintu gerbang itu. Kemudian ia melangkah mengendap-endap, sesekali bersembunyi seakan pencuri yang melakukan eksekusi target operasi agar tidak kegep pemilik rumah.

Sebelum Papanya melangkah dan hendak melontarkan sesuatu. Dita sudah berlari ke arah duduk Mamanya dan menubruknya. Memeluk erat Mamanya, berbutir-butir cairan bening keluar dari sudut matanya dan menangis secara terisak.

"Maafin Dita Maa, maafin Dita, Dita salah Maa, Dita banyak salah sama Mama dan Papa, Dita anak durhaka, Di Di Dita te te telah tebar aa aib..."

Mamanya hanya bisa terkesiap dan sembari ikutan menangis. Papanya yang tengah berdiri bungkam sejenak, wajahnya semakin memerah dan menegang seraya melangkah lalu menjambak rambutnya Dita sembari dibantingnya Dita dari pangkuan Mamanya hinggan membentur sofa.

"Anak kurang ajar, tak tau berterima kasih, tak bisakah kamu membawa harga diri dan kehormatanmu, haah? Lebih-lebih harkat dan martabat keluarga, haah..! Papa sungguh gak nyangka, apa sih yang ada di pikiran kamu, kamu masih waras gak? Sadar nggak? Apa salah Mama sama Papa kamu hingga kamu tanpa basa-basi mencoreng nama keluarga secara gamblang, haah?! Apa salah kami hingga kamu melakukan ini semua?"

Mamanya begitu lunglai, tubuhnya seakan tak bisa bergerak dan bibirnya tak mampu mengucap apa-apa. Dita mencoba membenahi tubuhnya yang tersungkur membentur sofa dan mengisak tangis.

"Ddi Ddi Dita khilaf Paa, Dita khilaf..."

Papanya semakin geram dan mukanya benar-benar merah padam sembari berkoar hebat.

"Aaah!!! Persetan semua itu!! Kamu khilaf atau tidak, yang jelas perbuatan kamu ini sudah kelewat batas, Papa maluuu!"

Muda yang sedari tadi menyelinap di luar rumah tampak menguping keributan Papanya Dita yang pastinya mengangkara murka pada Dita. Muda begitu terenyuh dan sedih mendengarnya tentunya Dita dalam tekanan hebat sembari hanya bisa menangis seolah dengan menangis bisa dirasakan meringankan beban dalam dirinya.

"Kamu gak usah nangis! Hentikan tangismu itu, air matamu itu gak akan membalikan keadaan kembali normal, juatru air matamu itu bikin Papa tambah stress. Giliran udah seperti ini kamu nangis, waktu bikin cabang bayi itu apa kamu nangis juga, Haah?!? Enak ya waktu bikin cabang bayi haram itu? Enak, Haah?!?"

Dita hanya bisa membungkam dan menangis pilu secara tersedu seakan telah menjadi seseorang yang begitu lugu dan bisu. Apa dirinya selama ini begitu gagu dan cupu hingga harus merasakan tertipu oleh candu bujuk rayu seorang cowok yang kini sungguh belagu bahkan sangat ragu-ragu ingin dia berteriak ini adalah anakmu, darah daging kamu, titisan kehidupan aku dan kamu, tidak kah kamu mau mengakui itu, bisakah kamu lagi merindu seperti dulu kau selalu bilang rindu maupun melucu dan ingin ketemu dan mencumbu. Aah, itu sungguh candu hingga dirinya tak terpandu dan ciptakan luka dalam kalbu bahkan bisa mati secara terburu.

Lihat selengkapnya