Dita tertidur karena kelelahan oleh tangisnya. Mamanya menemani di kamarnya. Mengelus-elus dan membelai rambut anak gadisnya sambil menitikan air mata. Disekanya air matanya sembari membenahi selimut anak gadisnya yang nampak pulas.
"Maa mama, mama, Dita, Dita ayo cepetan...!" Papanya terdengar berteriak karena dirasa sedari tadi Mamanya Dita dan Dita tak kunjung ke luar dari kamarnya.
"Jangan tunggu sampai kesabaran Papa habis, kalau tidak keluar juga, Papa akan seret Dita agar mau ke luar...!" sambung Papanya lagi terdengar dengan nada cukup tinggi.
Mamanya Dita yang mendengar panggilan dari suaminya buru-buru menyeka wajahnya lanjut keluar dari kamarnya Dita untuk menghampiri suami yang sedari tadi terus meneriaki dirinya dan anak gadisnya. Perasaan geram pasti ditunjukan suaminya itu karena dirasa cukup lama menunggu mereka berdua ke luar.
"Kenapa sih Papa pake acara teriak-teriak dan berkoar seperti itu?" Mamanya Dita juga dibuat dongkol oleh ulah suaminya seolah tidak bisa bersabar.
"Mana Dita?" Papanya Dita mendongak karena dirasa Dita tak ikut ke luar dari kamar. Pertanyaan dari istrinya tak digubris sama sekali.
"Ddi Di Dita...!" Mamanya Dita gugup seperti sedang mencari-cari alasan. Tangannya juga dihempas-hempaskan.
"Kenapa dia tak kunjung keluar dari kamar untuk siap-siap ke dokter?" Papanya Dita penglihatannya begitu menonjol seolah bisa meloncat dari habitatnya.
"Paa, Papa sabar dulu...!" Istrinya mencoba menenangkan dan membujuk dengan menghampiri agar lebih berdekatan dengan suaminya yang terbawa emosi jiwa.
"Sabar,sabar dan sabar lagi, dari tadi Papa sudah cukup sabar, apa itu masih belum cukup? Lagian kenapa kita harus sabar? Ini sudah kelewat batas, Mama masih saja bisa ngomong sabar...!" Suaminya begitu melengos dan marahnya pastinya mengambil ancang-ancang untuk memuncak.
"Iii iya, tapi..?" Istrinya yang terbata mau bicara dan menjelaskan terburu disergah oleh suaminya seakan tak diberi kesempatan untuk berkata lebih banyak lagi.
"Tapi apa lagi? Intinya sekarang, apa Dita mau keluar dari kamarnya secara baik-baik atau mau Papa seret supaya dia mau ke luar...?"
"Kita harus ikhlas menerima keadaan Dita sekarang..."
"Mama ngomong apa ?" lisan suaminya setengah berbisik.
"Dita tidak perlu dibawa ke dokter, perut Dita tak usah diseterilkan...!" balas istrinya tanpa keraguan.
"Maksud Mama apa?" suaminya menanyakan seakan dibaluri ketidakmengertian.
"Ya, kita harus menerima keadaan Dita seperti sekarang ini, tidak perlu ada korban apalagi membuang calon manusia baru, cucu kita..." istrinya menuturkan dengan pandangan memelas.
Suaminya yang mendengarnya sontak membelalak tidak mengerti akan arah jalan pikiran istrinya.