Muda duduk di sofa di ruang tamu rumahnya Dita berhadap-hadapan dengan Papanya dan Mamanya Dita yang duduknya berdampingan. Muda begitu kikuk dan canggung. Jari jemari tangannya dimainkan sekiranya itu dapat mengurangi rasa nervousnya. Kedua orang tua Dita menatapnya tajam seakan tidak mau berkedip memandangi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Muda seperti seorang penjahat yang baru saja tertangkap dan harus diintrogasi secara intens. Mengumpulkan bukti-bukti. Memberondong dengan sejumlah pertanyaan yang memutar balik serasa ingin menjebak. Menyusun berita acara pemeriksaan dan bersiap menyeret ke meja hijau, meja pesakitan seorang terdakwa kejahatan. Menghadapi sebuah penghakiman. Jantungnya pastinya berdegup kencang. Selayaknya sound system dengan dentuman DJ house music yang menggema. Ia enyahkah rasa groginya. Mengatur nafas dalam-dalam untuk tetap tenang dan bisa menjawab dengan maksimal hujaman berbagai pertanyaan.
"Nama?" tanya Papanya Dita begitu irit tapi diutarakan begitu lugas, padat dan jelas. Penglihatannya juga begitu menyelidik.
"Muda Diksa Tahir, om! Biasa dipanggil Muda..." tak mau kalah dia menyahut dengan suara yang tegas dan berwibawa. Biar tidak percuma dia ikut ekskul paskibra malah malu-maluin. Makanya dia musnahkan rasa parno dan linglung.
"Udah lama menjalin hubungan dengan Dita?" Papanya Dita kembali mengintrogasi dirinya.
"Sudah setahun lebih, om!" balasnya tanpa memikir ulang terlebih dahulu.
"Kenapa kamu tidak bawa orang tua kamu kesini?" berondong Papanya Dita sambil mengangkat kedua tangannya seakan menegaskan pertanyaannya karena Muda hanya sendirian menghadapnya.
Muda agak bingung maupun kelimpungan. Penglihatannya menolah kiri kanan. Dagunya dipegang oleh tangan kanannya. Digigit pula bibir bawahnya sembari menghembuskan nafas.
"Papa saya masih emosi dan kalap,om! Masih belum bisa menerima pengakuan dari saya, saya diusir juga dari rumah..."
Mamanya Dita agak terkesiap mendengar cerita Muda sembari dibenahi posisi duduknya sambil mengambil bantal yang ada di atas sofa lalu diletakan di atas kedua paha sebagai sandaran kedua tangannya. Menampakan rasa iba sembari menanyakan diusahakannya dengan penuh kelembutan.
"Terus sekarang kamu tinggal dimana?"
"Sementara saya menginap di rumah teman, tante?" Muda menyahuti sambil menoleh Mamanya Dita yang menanyainya.
Papanya Dita mengangguk pelan seakan mencoba mengerti kondisi sembari agak membuka tangan seakan bermimik memperjelas bicaranya pada Muda.
"Semua orang tua yang perhatian pada anaknya pasti tidak terima kalau anaknya berbuat kebablasan dan menebar aib di keluarga seperti yang kita alami sekarang ini...!"
"Saya tahu dan paham,om! Saya salah dan berdosa karena telah melakukan hubungan terlarang hingga mengalami kecelakaan seperti ini..." jelas Muda menunduk. Raut mukanya seakan penuh penyesalan. Jari jemarinya digesek-gesekan antara sela-sela jari tangan kiri dan kanan.
"Malu, malu,dan malu! Orang-orang akan mempergunjingkan kalian dan juga keluarga..." Papanya Dita berkata datar.
Muda menarik nafas pelan sembari dihembuskan juga secara perlahan. Ia pun mulai menuturkan unek-uneknya setidaknya dengan itu dapat membuat Papa dan Mamanya Dita luluh hatinya dan bisa menerima maupun memahami kekeliruan yang sudah dilakukannya.
"Manusia tak luput dari kesalahan, tidak ada manusia yang sempurna. Kita memang malu, tapi masih banyak kejadian di luar sana yang lebih memalukan dari ini. Merusak reputasi nama keluarga. Para pejabat yang melakukan praktik korupsi dan kasus penyuapan. Kisruh hanya untuk memduduki jabatan tertentu demi kepentingan pribadi dan golongan. Mereka menari di atas penderitaan rakyat, tak pedulikan nasib rakyat, memperkaya diri sendiri sampai-sampai mengambil uang milik negara. Bukankah itu juga perbuatan yang sangat memalukan? Ada juga publik figur yang tersandung kasus narkoba sampai beberapa kali mendekam di penjara maupun sering ke luar masuk LP. Ada juga artis yang tertangkap dan digerebek karena terlibat prostitusi online. Ada pula orang-orang yang sudah tersohor dan terkenal malah foto syur maupun bugil bahlan video porno mereka beredar luas di internet dan masyarakat. Itu juga kejadian hina dina dan sungguh memalukan. Apakah pejabat maupun orang-orang seperti itu masih bisa dikatakan terhormat? Punya derajat, harkat dan martabat yang tinggi? Atau malah sebaliknya. Apapun yang sudah dilakukannya, kita tidak boleh terlalu menghakiminya, bukan...?"
Mama dan Papanya Dita termangu mendengar penuturannya Muda. Pemaparannya dirasakan ada betulnya. Sungguh benar malahan. Papanya Dita pun manggut-manggut serasa menyerap untuk memahami dan sepemikiran dengan Muda.
"Kamu benar dan tepat, hidup ini memang penuh misteri. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi besok dan seterusnya di kemudian hari. Kamu menyadarkan om, dari hati om yang keras seperti batu, kamu telah melunakannya. Buat apa bicara kehormatan, derajat, harkat dan martabat. Sebab orang lain belum tentu menganggap nama keluarga kita baik dan tinggi..."
"Saya sangat berterima kasih sekali pada om dan tante kalau bisa mengerti dan bisa memaafkan kami..."
"Sesungguhnya kami sulit untuk mengampuni perbuatan kalian berdua..." Mamanya Dita mulai berkomentar dengan nada cukup datar.
Muda sembari menoleh Mamanya Dita yang melontarkan jawaban walaupun nadanya tidak tinggi tapi cukup nyelekit buatnya terdengar di telinga.
"Saya tau itu tante, memang kesalahan fatal kami sulit dimaafkan apalagi mendapat restu..."
Mamanya Dita kembali memperbaiki posisi duduknya agar merasa nyaman untuk berbicara dan menjelaskan pada Muda.
"Tapi tante sadar, kami harus berpikir jenih, harus menerima kenyataan dan tidak ada yang saling menyalahkan..."
"Saya tidak bisa melukiskan dengan kata-kata atas kebaikan dan kemurahan hati om dan tante..."