Mudita

I Gede Luwih
Chapter #21

21. Pulang

Ia tampak membuka sebuah pintu kamar. Memperhatikan seisi kamar. Berbagai foto yang terpajang di dinding kamar. Buku-buku di atas meja belajar. Juga foto keluarga terpampang di atas meja. Ia mendekati meja belajar. Dilihat foto-foto keluarga terbingkai rapi dengan hiasan indah dan menarik terpajang di atas meja. Mengambil foto mendiang istri dan putri sulung satu-satunya. Diperhatikannya foto menyelidik. Mengusap pelan foto karena tertutup debu. Air matanya berontak dan merembes membanjiri pipinya. Terngiang ingatannya beberapa tahun lalu. Ketika dirinya mendapat kabar. Istrinya yang mengantar putri sulungnya berangkat kuliah mengalami kecekalaan mobil beruntun. Istri dan anaknya tak bisa diselamatkan nyawanya. Kesedihan dan rasa kehilangan menyelimuti dirinya dan anak lelakinya. Rasa tidak percaya, frustasi dan hampir depresi karena istri dan anak perempuannya meninggalkan mereka begitu cepat ke alam baka. Apalagi anak cowoknya harus kehilangan kakak perempuan satu-satunya dan sesosok ibu ketika baru menginjak kelas VIII SMP. Dirinya harus kuat apalagi mendiang istrinya berpesan untuk menjaga anak laki-lakinya agar bisa berguna dalam hidupnya. Bisa bermasyarakat. Berguna bagi nusa dan bangsa. Apakah dirinya merasa gagal membimbing dan memdidik anaknya? Berbuat kebablasan yang tidak bisa diterima oleh nalarnya. Dirinya dan nama keluarganya dibuat malu secara terang-terangan. Apakah nama keluarga lebih penting daripada kehilangan seorang anak. Sampai dirinya harus mengusir anaknya. Akan ada rasa penyesalan kah?

Entah kenapa sekarang diterjang rasa kesepian. Badai rindu melandanya. Perasaan bersalah menerpanya. Segitu kejam dan tak ada adab kah dirinya tanpa berpikir panjang sehingga anak yang akan merawatnya kelak ketika tua renta nanti malah disuruh angkat kaki dari rumah. Pikirannya terhimpit resah gelisah gundah gulana dan merana. Bulir-bulir cairan bening menetes dan mengaliri pipinya. Dirinya menyadari tidak seharusnya main usir begitu saja. Bagaimana pun segala masalah harus diselesaikan dengan kepala dingin tanpa emosi dalam jiwa. Apa kabar anak lelakinya. Dimanakah dia sekarang . Bagaimana keadaannya. Sudah makankah dia. Sehat dan selamatkah dirinya. Mengapa dia tidak memilih pulang. Berharapnya dia baik-baik saja. Bisa menjaga diri dengan baik.

Bel rumah terdengar berbunyi. Ia menyeka-nyeka air mata dan raut wajahnya. Ia ingin segera melihat siapa yang bertandang. Pastinya pembantunya sudah membukakan pintu dan menyuruh orang yang datang menunggu di ruang tamu. Ia mengecup bingkai foto mendiang istri dan anaknya sembari menaruhnya ke tempat semula. Beranjak meninggalkan kamar yang singgahi.

Muda tampak duduk menunggu di ruang tamu. Ada rasa was-was dalam dirinya. Berpikir Papanya akan marah lagi dan tak terima akan kedatangannya sembari mengusirnya lagi. Papanya telah terlihat untuk datang menemuinya. Muda memilih termangu melihat lantai rumah, jari jemari tangannya dimainkan. Prasangkanya keliru, Papanya tidak menampakan kemarahan sama sekali. Hanya memandang Muda yang tampak lebih banyak menunduk. Papanya wajahnya tidak lagi merah padam tapi lebih cerah dari sebelumnya. Papanya dalam hati begitu senang melihat Muda kembali ke rumah. Mereka duduk berhadapan di ruang tamu. Mereka dilandang keheningan sejenak. Papanya pun inisiatif memecah keheningan dengan berkata datar.

"Akhirnya kamu pulang juga..."

Ucapan Papanya membuat Muda mendongak dari menunduknya untuk memandangi Papanya. Dengan tenang ia mulai berbicara.

"Maaf kalau kehadiran Muda ke rumah ini mengusik ketenangan dan kenyamanan Papa..."

Kata-kata Muda seakan meminta maaf dan merasa bersalah dengan datang menemui Papanya. Membuat Papanya keheranan. Papanya pun mengoreksi agar Muda tidak salah paham lagi.

"Kenapa kamu harus bicara seperti itu, kamu anak Papa jadi kapan pun kamu mau datang ke rumah ini, pintu akan selalu terbuka, lagi pula rumah ini kan milik kamu juga..."

Mendengar penjelasan Papanya, Muda agak bingung.

"Bukannya...?"

Muda baru bicara pendek dengan nada keheranan seraya terpotong oleh penjelasan Papanya.

"Hari lalu terus terang Papa kalap, gelap mata, tak seharusnya Papa memperlakukan jagoan semata wayang Papa seperti itu...!"

Muda dan Papanya saling memandang tenang. Terpancar akan keakraban dan intopeksi diri masing-masing.

"Tapi, Muda memang salah Paa, Muda memang pantas mendapat ganjaran seperti itu..."

Lihat selengkapnya