Mudita

I Gede Luwih
Chapter #22

22. Pertemuan

"Saya datang ke sini hanya bisa mengucap kata maaf karena kelakuan anak saya yang membuat ulah pada anak gadis bapak dan ibu. Sampai terjadi peristiwa yang benar-benar buruk dalam keluarga kita bersama..." Papanya Muda dari duduknya memulai pembicaraan agak bumbling menghadapi Papa dan Mamanya Dita yang duduk berdampingan. Papanya Dita menghela nafas dan membalas pembicaraan Papanya Muda seakan begitu menenangkan.

"Sudahlah pak, ini sudah terlanjur terjadi. Kita tidak perlu saling menyalahkan atau membuang-buang waktu mencari-cari kesalahan dan ngotot merasa paling benar. Kita sudah sama-sama lalai mengawasi anak-anak kita, sampai-sampai kejadiannya bisa seperti ini, ya ini mungkin sudah suratan jalan hidup mereka..."

"Betul pak, yang penting sekarang bagaimana kita menyikapinya. Kita harus ikhlas menerima keadaan anak-anak kita sekarang. Perjalanan masih panjang, mereka masih punya masa depan yang lebih cerah. Mereka masih bisa mencapai mimpi dan cita-citanya yang baru. Saling memaafkan adalah penyembuhan yang sangat efektif bagi relasi anak-anak kita hingga kebersamaan kita menjadi nyaman. Hati yang tulus ikhlas itu penting, bukankah kita akan menjadi keluarga besar...?" tutur Mamanya Dita menimpali penjelasan suaminya tadi pada Papanya Muda. Papanya Muda dadanya terasa plong mendengar perkataan kedua orang tuanya Dita.

"Saya sangat berterima kasih sekali atas pengertian keluarga ini. Kita memang harus bersikap fairplay, tidak perlu pakai otot tapi lebih memperbanyak pakai otak untuk menyelesaikan persoalan. Kita harus menjadi keluarga besar bahagia yang benar-benar dari lubuk hati sanubari yang paling dalam..."

"Kita akan memiliki aset dan modal saham yang baru, kita harus sama-sama berjuang menjadi partner bisnis yang baik dan benar untuk kelangsungan hidup keluarga kita yang baru..." Papanya Dita menyahuti sambil membuka tangan sejenak kemudian balik diposisikan menindih paha.

"O itu sudah tentu pasti, kita memang harus bekerja sama, belum terlambat untuk menurunkan jiwa bisnis kita kepada anak-anak kita, kita bisa mulai lembaran sejarah baru..." ungkap Papanya Muda sambil menghempaskan ke dua tangan secara pelan

"Eits, perlu diingat, walaupun memang cukup dini, tapi mau tidak mau sebentar lagi kita akan punya cucu, akan menggoda kita, bermain sama kita, menggendong dan menyanyikan lagu untuknya kalau menangis dan beranjak tidur, bahkan bisa bikin kita ketawa karena gemas dan lucunya..." Mamanya Dita menengahi permbicaraan mereka sembari menyunggingkan senyum manis merah merekah.

"Ya, walaupun kita akan segera punya cucu tapi penampilan kita masih kayak ABG kok" kelakar Papanya Muda.

Mereka bertiga menjadi saling melemparkan tawa bersama. Saling berbahasa tubuh menunjukan penampilan mereka memang kelihatan seperti ABG. Papanya Dita menghentikan tawa sejenak sembari mengingatkan.

"Tapi kita tidak boleh lalai dan teledor lagi, jangan sampai mereka membuat cucu yang kedua dulu..."

Papanya Muda mendengar wanti-wanti Papanya Dita menghentikan tawanya seraya bicara datar untuk menenangkan.

"Aah, ya tidak dong, saya rasa mereka masih trauma sekarang, mereka harus kapok dan jera dulu sementara sekarang karena belum cukup umur. Kalau nanti sudah dewasa dan mereka bisa mandiri, ya terserah mereka mau buat lagi..."

Mereka kembali serentak tertawa sambil menggelengkan kepala.

Muda dan Dita duduk-duduk bersebelahan di bangku panjang di taman rumah. Dita masih bersikap dingin pada Muda. Memalingkan muka seakan tak mau memandang Muda. Muda curi-curi pandang dan mencoba menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Dita. Tapi Dita juga ikutan menggeser posisi duduknya sehingga tetap ada jarak di antara duduknya mereka. Dita mengusahakan posisi duduknya tetap berjauhan. Tapi Muda tak menyerah, ia tetap mendekat duduknya ke arah Dita. Muda beberapa kali menggeser posisi duduknya untuk lebih dekat dan akrab dengan Dita tapi tiap kali itu juga Dita menggeser duduknya untuk tetap pada pendiriannya menjaga jarak dengan Muda. Muda tak putus asa tetap juga mengikuti setiap geseran duduk Dita sampai mentok duduknya di ujung bangku. Dita memilih pindah duduk ke ujung bangku semula. Muda juga menggeser perlahan mendekat ke arah posisi duduk Dita.

Dita lama-lama merasa risih dan tak betah atas ulah Muda. Dita menampakan kedongkolannya. Menatap tajam pada Muda. Bola matanya seakan bisa meloncat dari tempatnya. Ia begitu geregetan. Tapi Muda bersikap santai saja dan memalingkan muka serasa tidak ada apa-apa sembari bersiul-siul sesekali melirik Dita juga. Dita memilih pindah tempat duduk sampai benar-benar berjauhan dengan Muda. Muda seakan tak ada lelah mengikuti kemana duduknya Dita. Dita beberapa kali pindah tempat duduk tetap Muda tak menyerah mengintili.

Dita dibuat benar-benar jengkel dan memandang Muda sangat tajam. Sorotan matanya tak bisa menutupi rasa marahnya. Muda malah cuek saja. Memalingkan muka. Berbicara lemah lembut seakan pengalihkan suasana memanas dari dalam diri Dita.

"Di sini memang terasa tenang dan damai ya, udara begitu segar dan sejuk, hembusan bayu kurasakan membisikan rayuan yang menggelitik telinga. Menjadikan aku ingin hanyut dan terlelap , kemudian hanyut dalam mimpi..."

Ucapan Muda yang dibuat selembut mungkin dan sesekali melirik Dita tak membuat Dita merasa tergubris dan tak tersentuh sama sekali untuk menurunkan tensi kekesalannya. Bincangnya agak mengeras.

"Kenapa sih elo tetep nekat...?"

Muda tak lansung menjawab pertanyaan dari Dita yang dirasa nadanya cukup tinggi. Ia malah memandang manja dan melempar senyum manis pada Dita.

Lihat selengkapnya