MUDRA

Mega Yohana
Chapter #1

Mereka Datang

Surasena memaksa kedua kakinya untuk terus berlari. Bercak-bercak merah mengotori mukanya, berkilau garang memantulkan cahaya bulan.

Warna yang sama, tetapi lebih pekat dan lebih basah, tampak pada baju Surasena yang terkoyak. Cairan itu terus meleleh dari perut kanan Surasena. Sakitnya bukan main, tetapi riuh teriakan dan derap langkah di belakang membuat remaja empat belas warsa itu harus menelan kembali rasa sakit tersebut. Dia harus berlari. Dia harus menyelamatkan diri!

Sesekali, terdengar denting logam beradu, suara ujung pedang menembus daging atau menggarit leher dan pekik tertahan sebelum tubuh jatuh ke tanah.

Surasena tidak menoleh. Dia yakin penjaganya akan melindunginya. Dia harus berlari lebih cepat untuk memperjauh jarak mereka dengan para pemburu itu.

Naik, naik, naik, terus mendaki gunung.

Cepat, cepat, cepat!

Surasena hampir saja tersungkur ketika kakinya tersangkut sebuah akar melintang. Beruntung, tangannya dengan sigap meraih batang pohon di sampingnya untuk menahan tubuh.

“Raden!” seru pria paruh baya yang berlari di belakang Surasena, batur setia yang mengasuh bocah lelaki itu sedari kecil.

“Saya baik, Ki,” sahut Surasena cepat. Dia sedikit terbatuk dan memuntahkan darah. Pemuda itu mengusap ujung bibirnya asal-asalan dan kembali berlari.

Ki Dama mengangguk meski dia tahu tuan mudanya tidak melihat anggukannya. Sesekali pria itu menengok ke belakang. Dia sudah menumbangkan beberapa pemburu yang berhasil menyusul mereka tadi, tidak tahu apakah masih ada lagi yang mengejar.

Lama sekali rasanya Surasena dan Ki Dama berlari lintang pukang, menembus semak-semak dan pepohonan. Naik, naik, berbelok, dan terkadang terpeleset saat melewati jalur bekas air hujan di lereng gunung. Bahkan ketika mencapai bagian punggung gunung yang rata, mereka tetap berlari.

Darah Surasena berceceran di sepanjang lintasan yang mereka lalui.

“Ah!” Surasena terkesiap ketika sebelah kakinya menapak udara. Seketika dia lemparkan tubuh ke belakang. Punggungnya menghantam tanah berkerikil dan berbatu, tetapi itu lebih baik daripada jatuh ke jurang. Dia berguling sedikit menjauh dari bibir jurang.

Ki Dama yang sedang menoleh ke belakang tidak melihat Surasena terlentang di tanah. Kakinya menyandung pinggang si pemuda belia dan pria itu kehilangan keseimbangan. Demi menghindar agar tidak menimpa Surasena, Ki Dama melompat ke depan. Namun, justru karena itu, kakinya terperosok dan melewati batas daratan.

Ki Dama tersentak. Tangan kanannya meraih tepi tebing dengan cepat, dan untuk beberapa saat dia dapat bernapas lega meskipun kini tubuhnya bergelantungan.

Menghela napas, tangan kiri Ki Dama meraih tepi tebing. Setelah yakin kedudukannya cukup aman, dia menjejakkan kaki ke dinding tebing. Dengan menumpukan beban pada kedua tangan, pria berkumis tipis itu berhasil mengangkat tubuhnya dan berguling ke samping Surasena.

Surasena mengerang. Dia berusaha bangun, tetapi badannya terasa kaku. Perih dari luka di perutnya kini terasa berlipat-lipat. Ditambah pula perih dan ngilu di punggung akibat membentur batu dan kerikil tajam. Kakinya pun terasa kebas dan perih akibat berlari menerabas semak-semak berduri.

Buru-buru Ki Dama bangkit dan membantu Surasena duduk. Ki Dama menyadari Surasena telah mencapai batas kemampuannya. Tangan kanan pemuda itu menekan luka di perut.

Ki Dama memaklumi, mereka sudah berlari jauh sekali. Pada hari-hari biasa, tentu tuan mudanya sudah terjatuh kelelahan sejak tadi. Keinginan untuk hiduplah yang membuat sang tuan muda dapat bertahan sejauh ini, bahkan dengan luka menganga.

Lihat selengkapnya