MUDRA

Mega Yohana
Chapter #2

Damak Beracun

Surasena terbatuk batuk. Tenggoroknya kering. Hampir seluruh bagian tubuhnya terasa seperti disayat-sayat.

Saat mencoba membuka mata, mata Surasena terasa pedih dan berkunang-kunang. Setelah berkedip beberapa kali, barulah mata pemuda belia itu mulai terbiasa. Langit biru tua menyambut remaja itu. Rupanya pagi telah menggantikan malam.

Ki Dama menoleh ketika mendengar tuan mudanya terbatuk. “Raden sudah bangun?” sapanya, yang dibalas Surasena dengan gumaman serak. “Mohon bertahan sebentar, Raden. Saya mendengar suara air mengalir. Sepertinya tidak jauh dari sini ada sungai.”

Masih memejamkan mata, Surasena mengerutkan alis. Dia menajamkan pendengaran.

Benar, sayup-sayup terdengar gemercik air.

Ki Dama meneruskan perjalanan. Kira-kira sepenanak nasi kemudian mereka sampai di tepi sungai.

Sungai itu cukup lebar dan dangkal di bagian tepi. Lebarnya kira-kira satu cengkal dan tepiannya hanya sedalam betis. Berbatu-batu besar dan berkerikil di bagian tepi, sehingga menimbulkan suara gemercik ketika air melewati batu-batu tersebut. Meski demikian, bagian tengah sungai yang tampak tenang memperlihatkan bahwa sungai itu cukup dalam dan berarus deras.

Ki Dama berhenti sekitar satu depa dari sungai. Diletakkannya usungan dengan hati-hati, lalu dia lepaskan ikatan yang menahan tubuh tuan mudanya.

Pagi itu dingin sekali. Kabut merambat dari sungai, belum tersibak oleh matahari yang menggantung rendah di langit timur. Ki Dama mengumpulkan dedaunan dan ranting kering.

Mereka meninggalkan rumah begitu saja tanpa persiapan dan dalam keadaan berlari lintang pukang. Tidak mengherankan jika mereka tidak membawa pemantik api. Karena itu, Ki Dama mencari rotan dan kayu kering sebagai ganti untuk memantik api.

Ki Dama menaruh potongan rotan kering berukuran kecil di atas dedaunan kering yang sudah dikumpulkan. Potongan rotan itu lalu dia timpa secara melintang dengan kayu kering di atasnya. Kedua ujung rotan Ki Dama tarik bergantian dengan sangat cepat sehingga gesekan yang terjadi di bawah kayu menimbulkan panas.

Saat asap muncul, Ki Dama segera meniupnya hingga terbentuk api unggun kecil. Pria itu menunggu api cukup besar sebelum menggeser usungan tempat Surasena berbaring ke dekat api unggun.

Di hutan ini terdapat banyak tanaman yang berguna. Ki Dama memetik selembar daun talas untuk digunakan menciduk air. Dengan hati-hati dibawanya mendekat ke bibir Surasena dan dibantunya sang tuan muda untuk minum. Setelah Surasena berkata cukup, dengan hati-hati Ki Dama melepaskan baju Surasena, membawa kain tersebut ke sungai untuk dibilas. Dengan kain yang basah itu dia seka muka, lengan, dan dada Surasena. Selesai menyeka, Ki Dama melepaskan bebatan ala kadarnya yang melilit bagian perut Surasena.

Surasena sedikit mendesis ketika perih merambat dari luka di perutnya. Setelah kain yang membebat luka dilepaskan, di bawah sinar matahari, baru Surasena sadari bahwa luka itu tidaklah kecil.

Tadinya Surasena pikir lukanya tidak seberapa. Dalam kegentingan, dia lupa bahwa si penyerang membacoknya dengan ujung pedang bulan sabit yang tajam.

Bagaikan kail, ujung pedang itu menancap dan bergerak ke samping, meninggalkan robekan yang cukup panjang di perut Surasena. Kini, perut kanan Surasena tampak menganga sepanjang satu kilan. Pantas saja dia merasa begitu lemah. Sebuah keajaiban Surasena bisa bertahan hingga saat ini dengan luka sepanjang itu dan begitu banyaknya darah yang lolos dari tubuhnya.

Lihat selengkapnya