Di tanah yang cukup landai di lereng Gunung Bakung, terdapat sebuah rumah. Penghuninya seorang lelaki yang dikenal oleh warga desa di kaki gunung dengan nama Pu Walen, dan śiṣya-nya, Mandalika.
Setiap beberapa waktu, Pu Walen turun ke desa dan berkeliling untuk membantu penduduk desa yang sedang sakit. Mandalika terkadang menemaninya, sehingga penduduk desa cukup mengenal pemuda sembilan belas warsa itu.
Saat kecil, Mandalika pernah bertanya kepada Pu Walen tentang alasan mereka tinggal di lereng gunung yang jauh dari desa. Saat itu, sang guru hanya tersenyum, lantas balik bertanya, “Kenapa tidak?”
Jawaban—yang tidak menjawab pertanyaan—itu tentu saja tidak memuaskan keingintahuan Mandalika. Dia bertanya lagi setelah beberapa waktu. Saat itu Pu Walen sedang menjemur bubuk kunyit. Demi mendengar pertanyaan śiṣya-nya, dia berhenti sejenak dari pekerjaanya dan sedikit membungkuk untuk mensejajarkan tinggi dengan Mandalika.
“Kita memiliki semua yang kita butuhkan di sini. Bukankah begitu?” ujarnya sembari tersenyum. Lantas, ditepuknya pundak Mandalika sebelum kembali menegakkan tubuh dan melanjutkan pekerjaan.
Itu terakhir kali Mandalika bertanya. Makin bertambah usianya, Mandalika menyadari bahwa sang guru bukanlah orang yang mudah menjelaskan segala sesuatu. Sering kali gurunya itu melakukan hal yang membingungkan, dan Mandalika menjadi terbiasa dengan itu.
Memang, rumah yang mereka tinggali ini cukup besar walau sederhana.
Berdinding gedek dengan rangka kayu dan beratap anyaman daun nipah, halaman rumah ini cukup luas. Berpagar bambu rapat dan berujung runcing di sekelilingnya. Pagar itu berguna untuk menahan binatang buas hutan agar tidak masuk dan memakan ternak. Ya, di samping kiri agak belakang dari rumah terdapat kandang kambing dan ayam yang mereka pelihara. Ada pula kebun kecil untuk menanam sayur dan berbagai rimpang.
Seperti kata sang guru, banyak hal yang mereka butuhkan tersedia di sini. Kecuali letaknya yang jauh dari peradaban. Dan sumur.
Tidak ada sumur di rumah mereka, tetapi ada gentong besar untuk menyimpan air. Setiap pagi, Mandalika akan mengambil air dari sungai menggunakan belanga untuk mengisi gentong. Bukan dengan dipanggul di bahu atau di-indhit di pinggang, dia harus menyungginya di kepala tanpa memegang belanga.
Menyunggi belanga berisi air itu merupakan salah satu bentuk latihan keseimbangan tubuh yang diberikan oleh sang guru. Awalnya terasa berat dan sering kali Mandalika menjatuhkan belanganya hingga pecah berkeping-keping. Namun, setelah bertahun-tahun berlatih, rasanya siapa pun akan jadi seterampil Mandalika.
Pagi ini pun, kegiatan Mandalika sama dengan hari-hari sebelumnya. Sejak hari masih gelap dia sudah bolak-balik ke sungai mengambil air untuk mengisi gentong. Setelah gentong penuh, dia menyapu halaman, memasak sarapan dan makan bersama sang guru, lalu pergi menggembalakan kambing.
Mandalika membawa kambing-kambingnya ke dekat sungai karena di sana banyak tumbuh rumput pakan ternak. Tempat lainnya di hutan banyak ditumbuhi semak-semak berduri, Mandalika tak akan membuat kambing-kambingnya makan itu. Apalagi jika sampai tak sengaja memakan ulat serit hijau seperti yang terjadi saat pertama kali dirinya memelihara kambing.