MUDRA

Mega Yohana
Chapter #4

Bocah Buruan

Mandalika ingin tidak peduli. Bukan salahnya jika seseorang hanyut di sungai dan mati tenggelam. Namun, melihat luka di perut pemuda itu ... “Cih!” desis Mandalika seraya kembali mendekat dan berjongkok. Pada saat seperti ini, sungguh Mandalika tidak menyukai nalurinya sebagai śiṣya seorang penyembuh.

Mendekatkan dua jari ke hidung Surasena, Mandalika mendapati napas anak itu masih ada meski begitu lemah. Dia lalu menekan dada Surasena beberapa kali dan memberikan bantuan pernapasan untuk mengeluarkan air dari paru-paru bocah itu.

Percobaan pertama dan kedua tidak membuahkan hasil meski Mandalika menambah usahanya dengan menepuk-nepuk pipi Surasena. Dia mencoba menekan lagi dada Surasena dan memberikan bantuan pernapasan sekali lagi. Pada usaha yang ketiga ini, Surasena tersentak dan terbatuk. Air seketika mengalir dari mulutnya.

Mandalika membantu Surasena duduk sembari mengedarkan pandangan memeriksa sekeliling. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain. Dia menebak pemuda terluka yang dilihat dari perawakannya kemungkinan beberapa warsa lebih muda darinya itu terbawa arus dari hulu hingga jatuh di air terjun dan terdampar di sini.

Mandalika baru akan bertanya kepada Surasena ketika remaja itu kembali tergolek tak sadarkan diri.

Tanpa berpikir lama, segera dia angkat tubuh Surasena. Satu tangannya menyangga punggung Surasena dan satu lagi di bawah lutut Surasena. Mandalika terbiasa dengan pekerjaan kasar. Baginya, tubuh Surasena tidak lebih berat daripada bongkahan batu yang dulu harus dia angkut hampir setiap hari sebagai salah satu bentuk latihan dari gurunya.

Mandalika membawa Surasena kembali ke rumah dan meninggalkan kambing-kambingnya tanpa penjagaan. Lagi pula, pikirnya, jarang sekali ada orang masuk hingga jauh ke dalam hutan dan di gunung seperti ini. Kecuali binatang buas hutan, tidak akan ada orang yang mencuri kambing-kambing itu.

Mandalika mendorong pintu pagar dengan kakinya dan memasuki halaman rumah.

Seorang pria dengan rambut seputih perak sedang memberi makan ayam di halaman. Pria itu terkejut melihat Mandalika datang membopong seorang anak laki-laki. Segera dibantunya sang śiṣya membawa pemuda itu masuk ke rumah. Setelah membaringkan Surasena di amben ruang depan, dia periksa napas dan detak nadi pemuda itu.

“Siapa dia, Mandalika? Apa yang terjadi padanya?” tanya pria itu.

“Tidak tahu, Guru. Mandalika menemukannya di tepi sungai dekat air terjun,” jawab Mandalika apa adanya.

Pu Walen sebenarnya belum begitu tua. Usianya hanya dua kali usia Mandalika. Meskipun demikian, rambutnya yang lurus dan tergerai sepunggung benar-benar berwarna seputih perak seperti rambut orang yang sudah sangat tua. Tak cuma rambut, alis dan bulu matanya pun sewarna perak. Kulitnya begitu pucat, sedangkan manik matanya berwarna kelabu.

“Hm, ususnya tidak robek. Cepat, bantu Guru membersihkan lukanya!” perintah lelaki itu.

Dengan sigap, Mandalika mengambil sebejana air dan kain bersih, lalu menyeka luka di perut Surasena. Dengan hati-hati pula dia bersihkan bagian dalam perut Surasena yang terbuka.

Gurunya telah mengajarkan bahwa luka seperti ini harus betul-betul dibersihkan secara menyeluruh sebelum dijahit. Benda-benda asing seperti rambut atau serpihan tanah atau apa saja yang tertanam di dalam luka bisa menimbulkan nanah dan nyeri yang luar biasa.

Sementara Mandalika membersihkan luka Surasena, Pu Walen menyiapkan peralatan untuk menjahit luka.

Untuk luka di perut seperti itu, jarum yang digunakan berbentuk setengah lingkaran, melengkung seperti busur. Jarum itu kecil, batang jarumnya setipis tangkai bunga melati, dan ujungnya runcing untuk memudahkan dalam menjahit. Benangnya berasal dari serat rami.

Lihat selengkapnya