Seorang pria menghela kudanya agar berlari lebih cepat. Matahari bersinar terik, muka dan tubuh pria itu dibanjiri keringat. Namun, pria yang biasa dipanggil Ki Kutis itu tidak berhenti menghela. Dia harus cepat sampai, dia harus cepat mewartakan kabar penting.
Pagi tadi, telah terjadi kegemparan di Paminggir.
Kediaman Rakarayan, pemimpin mereka, telah menjadi lahan pembantaian. Mayat bergelimpangan di halaman depan, di dalam rumah, juga di belakang. Semua prajurit penjaga, semua batur … tak ada yang selamat.
Rakarayan dan kedua putranya ditemukan tak bernyawa dengan banyak sekali luka di tubuh mereka. Sangat mengenaskan. Sementara, putra bungsu Rakarayan dan batur-nya tidak diketahui ada di mana.
Tak ada seorang pun di Paminggir yang menyangka akan kejadian itu. Sebab, malamnya tak seorang pun mendengar pertikaian yang terjadi. Tahu-tahu saat pagi tiba, seorang warga—wanita yang hendak pergi mencuci baju di sungai—menjerit sejadi-jadinya.
Jeritan itu terdengar oleh warga lainnya, yang sama-sama keluar untuk memeriksa. Mereka mendapati si wanita sudah tergeletak tak sadarkan diri di jalan, bakul berisi baju-baju kotor terguling di dekatnya. Ketika mendekat, barulah para warga menyadari apa yang membuat wanita itu menjerit seperti melihat setan hingga pingsan di tempat.
Seluruh warga di Paminggir berduka—ah, tidak, kebanyakan warga berduka, tetapi pasti ada yang tertawa senang karena tragedi ini. Sebab, dengan ketiadaan Rakarayan, mereka akan dengan leluasa bertindak serupa penguasa di Paminggir. Orang-orang seperti itu ada, bahkan sudah menunjukkan bibit keangkuhannya sejak Rakarayan masih ada. Ketiadaan Rakarayan pasti akan mereka manfaatkan untuk memanjat naik.
Para warga yang memahami kegentingan situasi ini segera berunding. Sementara mereka mengurus mayat-mayat yang ada, satu orang dikirim untuk melaporkan kejadian ini kepada sang prabu. Mereka hanya memiliki kuda-kuda kampung yang kecepatan berlarinya sedang-sedang saja. Oleh karena itu, mereka tidak membuang waktu. Segalanya harus ditindak dengan cepat.
Bukan tanpa alasan Ki Kutis dipilih sebagai pembawa berita. Meskipun orang desa, Ki Kutis memiliki ingatan yang luar biasa. Pria berusia tiga puluhan akhir itu bahkan mampu menggambarkan sesuatu yang baru dilihatnya satu kali dengan begitu teliti. Ki Kutis bisa mengingat muka para prajurit pengawal Rakai Paminggir, para batur, dan korban lain dari tragedi ini. Dia mengingat bagaimana keadaan mereka yang terbunuh dan seperti apa luka mereka.
Para warga tidak menemukan mayat penyerang di kediaman Rakarayan, tetapi mereka menemukan benda yang bukan berasal dari Paminggir, sebuah pecahan pedang melengkung yang kini dibawa oleh Ki Kutis. Mereka berharap, dengan mengirim Ki Kutis, akan membantu Gusti Prabu menyelidiki kejadian mengenaskan ini.
Ki Kutis berhenti di dekat sebuah sungai. Dibiarkannya si kuda merumput dan meminum air sungai, sementara dia memanjat pohon kelapa terdekat. Selain menghilangkan dahaga, air kelapa muda membantu mengembalikan tenaga. Daging dawegan-nya juga bisa menutup rasa lapar.
Masih seperempat perjalanan. Meskipun ingin cepat sampai, Ki Kutis tidak bisa mendorong kudanya terlalu keras. Bisa-bisa si kuda malah jatuh dan tak bisa ditunggangi lagi. Dengan kemampuan kudanya, mungkin besok baru akan sampai di Purasabha. Itu pun jika kudanya tidak kelelahan karena terus dihela sepanjang waktu.
Setelah merasa cukup beristirahat, Ki Kutis kembali menunggangi kudanya dan berderap ke timur. Melanjutkan perjalanan.
Sesuai perkiraan, dia sampai di kuṭarāja keesokan harinya. Matahari sudah menggantung di barat ketika Ki Kutis melintasi jalan besar dan panjang dengan barisan gajah di kanan kiri jalan.
Kemegahan Istana Suranagara dengan pagajahan—tempat memelihara gajah—yang terdapat di luar benteng merupakan pengetahuan umum di Kanakadwipa.
Tugu-tugu batu berjajar-jajar di kanan dan kiri jalan besar yang sejalur dengan gapura utama. Pada tugu-tugu itu, gajah-gajah yang besar dan luar biasa diikat kakinya. Masing-masing tugu memiliki atap peneduh untuk melindungi gajah-gajah dari hujan dan panas. Terdapat pula meja-meja batu untuk meletakkan makanan.
Sambil menghela kuda, Ki Kutis menghitung di masing-masing sisi jalan terdapat sekitar tiga lusin tugu yang disusun berjajar 12-12 ke belakang, sehingga terdapat tiga baris tugu di tiap sisi jalan dan jumlah semuanya sekitar enam lusin tugu yang masing-masing menaungi seekor gajah dewasa. Sementara, anak-anak gajah yang banyak jumlahnya dibiarkan bebas.